Pendahuluan
Di berbagai sudut kota dan pelosok desa, tak sulit menemukan bangunan milik pemerintah daerah yang berdiri tak terurus, lapuk dimakan usia, bahkan tak jarang berubah fungsi menjadi tempat tinggal liar atau sarang hewan. Fenomena aset daerah yang terbengkalai menjadi pemandangan umum yang menyiratkan ironi besar: ketika negara tengah gencar meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan dan tata kelola pemerintahan yang baik, justru aset-aset strategis daerah banyak yang tak termanfaatkan secara optimal.
Aset daerah yang dimaksud mencakup tanah, bangunan, kendaraan, hingga sarana prasarana yang dimiliki pemerintah daerah dan seharusnya dikelola untuk mendukung pelayanan publik dan pembangunan ekonomi. Ketika aset-aset ini terbengkalai, bukan hanya negara yang dirugikan secara finansial, namun juga masyarakat yang kehilangan potensi manfaat sosial dan ekonomi dari keberadaan aset tersebut.
Lalu, kenapa aset daerah bisa terbengkalai? Artikel ini akan mengurai secara mendalam berbagai penyebab, mulai dari tata kelola yang lemah, birokrasi yang rumit, hingga minimnya perencanaan dan pengawasan. Selain itu, artikel ini juga mengupas dampak buruk yang ditimbulkan, serta strategi-solusi yang bisa diterapkan untuk mengubah aset mangkrak menjadi sumber daya produktif.
1. Kurangnya Pendataan dan Inventarisasi Aset yang Akurat
Salah satu akar masalah utama dari aset daerah yang terbengkalai adalah lemahnya sistem pendataan dan inventarisasi. Banyak pemerintah daerah belum memiliki sistem informasi manajemen aset yang terpadu dan real-time. Pendataan masih dilakukan secara manual, tidak terintegrasi antar instansi, dan sering kali tidak diperbarui secara berkala. Akibatnya, keberadaan dan kondisi riil aset tidak diketahui dengan pasti.
Banyak kasus ditemukan aset yang tidak tercatat dalam neraca pemerintah daerah atau tercatat namun tidak sesuai dengan kondisi fisik di lapangan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti pergantian pejabat yang tidak disertai serah terima yang baik, atau tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) dalam pencatatan. Ketika aset tidak tercatat, maka secara administratif ia ‘tidak ada’—dan otomatis tidak masuk dalam skema pemanfaatan atau pemeliharaan.
Pendataan yang tidak akurat juga membuat perencanaan pengelolaan aset menjadi tidak efektif. Pemerintah daerah bisa saja membeli atau membangun aset baru, padahal ada aset serupa yang sudah dimiliki namun tidak termanfaatkan. Ini menciptakan pemborosan dan menumpuknya aset yang akhirnya terbengkalai.
2. Lemahnya Tata Kelola dan Koordinasi Antar OPD
Masalah kedua yang kerap menjadi penyebab aset terbengkalai adalah lemahnya tata kelola dan koordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Banyak aset dikuasai oleh satu dinas, namun tidak digunakan karena tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dinas tersebut. Di sisi lain, ada OPD lain yang membutuhkan aset tersebut namun tidak memiliki kewenangan untuk menggunakannya.
Ketidakhadiran mekanisme internal yang memungkinkan pertukaran atau pengalihan aset antar OPD membuat banyak aset hanya “dikuasai” namun tidak “dimanfaatkan”. Selain itu, ada kekhawatiran jika aset digunakan oleh OPD lain tanpa dasar hukum yang kuat, maka akan menimbulkan temuan audit di kemudian hari. Akhirnya, aset dibiarkan saja, bahkan tidak dipelihara, karena tidak ada insentif ataupun tekanan untuk mengelolanya secara optimal.
Tata kelola yang buruk juga terlihat dari tidak adanya unit khusus yang bertugas menangani manajemen aset secara profesional. Biasanya pengelolaan aset menjadi tugas tambahan dari bagian umum atau bagian perlengkapan, yang tidak memiliki kompetensi teknis dan sumber daya yang memadai untuk menangani kompleksitas pengelolaan aset daerah.
3. Birokrasi Pemanfaatan yang Berbelit
Ironi terjadi ketika pemerintah daerah memiliki aset strategis seperti gedung atau tanah di lokasi prime, namun tidak bisa dimanfaatkan karena proses birokrasi yang rumit. Aturan tentang pemanfaatan aset daerah memang ketat, terutama setelah keluarnya regulasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun ketatnya aturan ini sering kali tidak dibarengi dengan penyederhanaan prosedur teknis di lapangan.
Untuk dapat memanfaatkan aset, OPD harus melalui serangkaian proses yang panjang: mulai dari pengajuan rencana kebutuhan, persetujuan kepala daerah, appraisal dari pihak ketiga, hingga permintaan izin pemanfaatan ke kementerian. Prosedur ini bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan lebih dari satu tahun. Dalam waktu yang lama ini, aset tetap menganggur dan kehilangan nilai ekonominya.
Pemanfaatan oleh pihak ketiga, misalnya untuk disewakan atau kerja sama pemanfaatan (KSP), juga menghadapi tantangan yang sama. Calon investor atau mitra sering mundur karena menghadapi ketidakpastian hukum dan lamanya proses perizinan. Hal ini membuat aset tidak menarik untuk dijadikan objek investasi atau kerja sama.
4. Tidak Adanya Rencana Pemanfaatan yang Jelas
Sering kali aset daerah dibangun karena alasan politis atau sekadar mengikuti tren, tanpa rencana jangka panjang tentang bagaimana aset itu akan dimanfaatkan. Contohnya, pembangunan gedung serbaguna di desa yang tidak memiliki kegiatan sosial yang memadai, atau terminal angkutan umum di lokasi yang tidak strategis. Aset akhirnya terbengkalai karena sejak awal memang tidak dirancang untuk kebutuhan riil masyarakat.
Ketiadaan studi kelayakan, analisis kebutuhan, atau kajian dampak menjadi penyebab utama dari fenomena ini. Pembangunan aset lebih didasarkan pada keinginan kepala daerah atau dorongan legislatif, bukan atas dasar perencanaan teknokratis yang berbasis data. Akibatnya, aset menjadi tidak relevan, dan masyarakat pun tidak memiliki insentif untuk menggunakannya.
Tanpa rencana pemanfaatan yang jelas, tidak ada juga anggaran untuk operasional dan pemeliharaan aset. Hal ini membuat aset cepat rusak dan semakin tidak layak digunakan. Seiring waktu, nilai aset menyusut dan statusnya menjadi aset bermasalah.
5. Anggaran Pemeliharaan yang Minim
Poin penting lainnya adalah anggaran pemeliharaan yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah lebih fokus pada pembangunan aset baru dibanding merawat aset yang sudah ada. Ini menciptakan paradoks pengelolaan: membangun lebih mudah dan populer secara politik, tetapi merawat sering dianggap beban.
Padahal, tanpa pemeliharaan rutin, aset akan cepat rusak. Atap bocor, dinding retak, sistem kelistrikan tak berfungsi, dan akhirnya aset dinyatakan tidak layak pakai. Ketika sudah rusak berat, biaya untuk perbaikan menjadi lebih mahal dibanding jika dilakukan pemeliharaan berkala.
Ketiadaan anggaran pemeliharaan juga berdampak pada respons terhadap kerusakan kecil. Misalnya, jika AC rusak atau toilet tak berfungsi, tidak ada dana untuk perbaikan cepat, sehingga bangunan tidak nyaman digunakan. Kondisi ini membuat pengguna aset ogah memanfaatkannya, dan aset pun perlahan-lahan ditinggalkan.
6. Hambatan Hukum dan Status Kepemilikan
Tidak sedikit aset daerah yang terbengkalai karena status hukumnya belum jelas. Misalnya, tanah milik pemerintah belum memiliki sertifikat hak pakai, atau bangunan yang dibangun di atas tanah yang belum bersertifikat. Kondisi ini membuat pemanfaatan aset menjadi rawan sengketa dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut.
Persoalan ini sering kali timbul karena lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau karena adanya tumpang tindih kepemilikan akibat pembelian aset tanpa dokumen lengkap. Dalam beberapa kasus, aset juga menjadi objek sengketa antara pemerintah daerah dengan warga atau pihak ketiga.
Ketidakjelasan status hukum ini membuat aset sulit digunakan untuk kegiatan produktif, termasuk untuk dijadikan jaminan atau kolateral dalam kerja sama. Bahkan untuk sekadar memanfaatkannya sebagai kantor atau layanan publik pun menjadi berisiko.
7. Minimnya Inovasi dan Pemanfaatan Teknologi
Saat ini, pengelolaan aset dapat dilakukan dengan lebih efisien melalui teknologi digital, namun banyak daerah yang belum memanfaatkannya secara maksimal. Sistem informasi manajemen aset (SIMDA BMD) misalnya, masih terbatas penggunaannya atau belum diperbarui secara real-time. Padahal dengan teknologi, pemerintah daerah bisa mengetahui status terkini setiap aset, termasuk nilai, kondisi, dan potensi pemanfaatannya.
Minimnya inovasi juga terlihat dalam cara daerah mengelola aset non-produktif. Di banyak negara, aset seperti bangunan tua atau gudang dapat dikembangkan menjadi ruang publik, co-working space, atau disewakan untuk sektor kreatif. Namun di Indonesia, sebagian besar aset mangkrak dibiarkan begitu saja, karena tidak ada inisiatif untuk mengonversinya menjadi aset bernilai ekonomi.
Teknologi juga memungkinkan pelibatan masyarakat dalam pengawasan aset. Misalnya, dengan aplikasi pengaduan atau pelaporan kondisi aset di lapangan. Namun, sejauh ini belum banyak daerah yang membuka ruang partisipasi tersebut, sehingga aset tetap berada dalam kegelapan birokrasi.
8. Dampak Aset Terbengkalai bagi Pemerintah dan Masyarakat
Aset yang terbengkalai bukan hanya mencerminkan pemborosan anggaran, tapi juga menimbulkan kerugian nyata. Pemerintah daerah kehilangan potensi penerimaan dari sewa atau kerja sama pemanfaatan, sementara biaya perawatan terus berjalan, atau bahkan meningkat karena kerusakan yang bertambah.
Bagi masyarakat, aset terbengkalai bisa menciptakan ruang-ruang kumuh, memperburuk citra lingkungan, dan meningkatkan potensi kriminalitas. Bangunan kosong sering dijadikan tempat berkumpul remaja, digunakan untuk kegiatan ilegal, atau menjadi tempat berkembangnya penyakit.
Aset yang tidak dimanfaatkan juga berarti hilangnya kesempatan ekonomi. Tanah yang semestinya bisa digunakan untuk kegiatan UMKM, lahan parkir, taman kota, atau fasilitas umum lainnya, justru menganggur. Ini merugikan masyarakat secara langsung dan memperlemah upaya pemerintah dalam menyejahterakan warganya.
9. Upaya dan Solusi yang Bisa Diterapkan
Meskipun permasalahan pengelolaan aset daerah cukup kompleks, bukan berarti tidak ada solusi. Pertama-tama, perlu ada komitmen kuat dari pimpinan daerah untuk menjadikan pengelolaan aset sebagai prioritas. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah melakukan audit dan inventarisasi ulang seluruh aset dengan melibatkan teknologi informasi dan lembaga profesional.
Kedua, membentuk unit khusus pengelola aset dengan SDM yang kompeten, dan memberikan kewenangan serta sumber daya yang cukup untuk mengelola aset secara profesional. Unit ini harus mampu merancang strategi pemanfaatan aset jangka pendek, menengah, dan panjang.
Ketiga, menyusun regulasi internal yang memungkinkan pemanfaatan aset lebih fleksibel namun tetap akuntabel. Penyederhanaan prosedur pemanfaatan, pembukaan kerja sama dengan pihak swasta, hingga pemberdayaan masyarakat lokal dapat menjadi jalan keluar dari kebuntuan birokrasi.
Keempat, melakukan digitalisasi manajemen aset dengan sistem yang transparan, berbasis data spasial, dan dapat diakses lintas OPD. Hal ini akan memudahkan pengambilan keputusan dan mempercepat respon terhadap kebutuhan layanan publik.
Kelima, membangun partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pemanfaatan aset. Pemerintah daerah bisa membuka forum usulan pemanfaatan aset oleh komunitas lokal, sehingga aset menjadi milik bersama yang dijaga dan dirawat.
Kesimpulan
Aset daerah yang terbengkalai adalah cermin dari lemahnya tata kelola, perencanaan yang tidak berbasis kebutuhan, serta birokrasi yang masih kaku dan tidak responsif. Setiap meter persegi aset yang menganggur adalah kerugian negara dan kehilangan peluang bagi masyarakat.
Dengan upaya kolaboratif, keterbukaan data, inovasi digital, serta keberanian untuk merombak sistem lama yang tidak efisien, aset-aset tersebut bisa dihidupkan kembali menjadi sumber daya yang menopang pelayanan publik dan pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah tidak boleh lagi abai—karena setiap aset adalah amanah publik yang harus dikelola sebaik-baiknya.