Aset Desa: Milik Siapa, Diurus Siapa?

Pendahuluan

Desa sebagai unit pemerintahan terkecil dalam struktur kenegaraan Indonesia memiliki posisi yang amat vital, bukan hanya sebagai entitas administratif, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai lokal, penggerak pembangunan berbasis komunitas, dan pengelola berbagai sumber daya yang melekat di dalam wilayahnya. Salah satu unsur penting dari eksistensi dan fungsi desa adalah keberadaan aset desa. Aset ini bukan hanya berupa benda mati seperti tanah dan bangunan, tetapi juga mencakup potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang dapat menjadi sumber kesejahteraan masyarakat desa. Namun, di tengah berbagai peluang tersebut, masih banyak perdebatan dan kebingungan yang mengemuka: sebenarnya aset desa itu milik siapa? Dan siapa yang bertanggung jawab dalam mengelolanya?

Pertanyaan tersebut bukan hanya penting dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi juga menyangkut akuntabilitas penggunaan dana desa, keberlanjutan pembangunan, serta kepercayaan masyarakat terhadap aparat desa. Maka dari itu, memahami kepemilikan dan pengelolaan aset desa secara komprehensif menjadi sangat krusial. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai definisi, bentuk, status hukum, pengelolaan, hingga tantangan dan solusi dalam mengelola aset desa di Indonesia.

Apa Itu Aset Desa?

Aset desa dapat didefinisikan sebagai semua kekayaan yang dimiliki oleh desa yang diperoleh melalui berbagai cara, baik melalui warisan, hibah, hasil pembangunan, maupun pembelian yang bersumber dari dana desa. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, aset desa mencakup tanah, bangunan, kendaraan, alat dan mesin, infrastruktur, dan kekayaan lainnya yang dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat desa.

Secara garis besar, aset desa terbagi menjadi dua kategori besar:

  1. Aset tetap seperti tanah kas desa, balai desa, posyandu, gedung serbaguna, jalan desa, irigasi, dan sarana prasarana lainnya.
  2. Aset tidak tetap seperti hak atas pendapatan asli desa dari sewa tanah kas, hasil kerjasama dengan pihak ketiga, hingga potensi ekonomi dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Pemahaman ini penting karena akan menentukan pendekatan dalam pengelolaan, pemanfaatan, serta pertanggungjawaban atas aset tersebut. Perbedaan karakteristik dari masing-masing jenis aset memerlukan perlakuan administratif dan manajerial yang berbeda pula.

Aset Desa Milik Siapa?

Pertanyaan mengenai siapa pemilik sebenarnya dari aset desa mungkin terdengar sederhana, namun sesungguhnya mengandung dimensi hukum, administratif, bahkan ideologis yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam. Secara normatif, aset desa bukanlah milik individu, bukan pula milik sekelompok orang atau pejabat tertentu yang saat ini sedang menjabat di pemerintahan desa, melainkan merupakan milik kolektif masyarakat desa yang dikelola dalam kerangka sistem pemerintahan desa. Aset desa tidak bisa diwariskan secara pribadi, diperjualbelikan secara sepihak, apalagi dikuasai oleh oknum tertentu yang merasa memiliki “hak istimewa” karena jabatannya.

Dasar hukum yang menjelaskan hal ini dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang secara eksplisit menyatakan bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengelola asetnya sendiri dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pelayanan publik. Aset desa adalah kekayaan milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), hibah dan sumbangan, bagian dari hasil kekayaan alam, serta hasil lainnya yang sah.

Namun, meskipun telah diatur secara hukum, pada kenyataannya di lapangan seringkali terjadi penyimpangan pemahaman terhadap kepemilikan aset desa. Salah satu bentuk penyimpangan yang paling umum adalah anggapan bahwa aset yang dibeli dengan dana desa selama masa kepemimpinan seorang kepala desa merupakan semacam “warisan jabatan” yang bisa dikendalikan atau bahkan dipindahtangankan setelah masa jabatannya selesai. Ada pula kasus di mana aset desa berupa tanah atau bangunan dipergunakan untuk kepentingan pribadi tanpa adanya dasar hukum yang jelas atau persetujuan masyarakat desa melalui musyawarah.

Pemahaman yang keliru seperti ini seringkali dilatarbelakangi oleh dua hal utama: pertama, minimnya literasi hukum dan tata kelola pemerintahan desa di kalangan aparat desa dan masyarakat; dan kedua, belum tertatanya sistem inventarisasi dan dokumentasi aset secara menyeluruh, sehingga membuka celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mengklaim kepemilikan secara pribadi terhadap aset yang seharusnya menjadi milik publik.

Sebagai contoh nyata, banyak desa yang memiliki tanah kas desa dalam jumlah luas, namun tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah atau tercatat dalam sistem informasi keuangan desa. Hal ini mengakibatkan tanah tersebut rawan dikuasai oleh oknum, disewakan tanpa sepengetahuan masyarakat, atau bahkan dijual secara ilegal. Ironisnya, ketika terjadi pergantian kepala desa, tidak sedikit aset yang “hilang”, baik secara fisik maupun administratif, karena tidak tercatat dengan baik atau disengaja untuk tidak diserahkan kepada pengganti. Ini membuktikan bahwa pengelolaan aset desa masih rentan terhadap praktek penyimpangan yang terjadi karena kaburnya batas antara kepemilikan publik dan pribadi.

Oleh sebab itu, menjadi sangat penting untuk mempertegas kembali bahwa aset desa adalah milik masyarakat desa secara keseluruhan dan tidak dapat dialihkan atau dimanfaatkan tanpa mekanisme yang sah. Penggunaan istilah “milik desa” dalam konteks ini merujuk pada entitas hukum desa sebagai badan hukum publik, yang bertanggung jawab kepada masyarakat desa dan pemerintah yang lebih tinggi. Desa, dalam kapasitasnya sebagai entitas hukum, bertindak sebagai pengelola (manajer), bukan sebagai pemilik dalam arti pribadi atau individual. Artinya, kepala desa dan perangkat desa lainnya hanya diberi mandat untuk mengelola aset atas nama masyarakat, dan bukan untuk memiliki atau memperlakukan aset tersebut sebagai milik mereka sendiri.

Di sisi lain, penting pula untuk menyadari bahwa dalam struktur pemerintahan, desa merupakan subjek hukum publik yang berdiri di bawah naungan pemerintah kabupaten/kota. Meskipun desa memiliki otonomi dalam mengelola aset, namun tetap terdapat mekanisme pengawasan dari pemerintah daerah melalui inspektorat, camat, dan dinas terkait. Dalam hal ini, desa memang “memiliki” aset, tetapi dalam pengertian sebagai unit pemerintahan yang diberi kewenangan oleh negara dan bertanggung jawab kepada rakyatnya serta kepada negara.

Menjawab pertanyaan “aset desa milik siapa?” tidak cukup hanya dengan menyebut “milik desa” sebagai satu frasa singkat. Perlu diperjelas bahwa “milik desa” berarti milik bersama seluruh warga desa, dan bukan milik pemerintah desa sebagai organisasi, melainkan dikelola oleh pemerintah desa atas nama masyarakat desa. Ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat di tingkat paling bawah, dan juga cerminan semangat otonomi yang diusung oleh reformasi sistem pemerintahan Indonesia pasca desentralisasi.

Pemahaman yang benar mengenai kepemilikan aset desa ini akan berdampak besar terhadap perilaku para pemangku kepentingan. Jika kepala desa dan perangkatnya menyadari bahwa aset yang mereka kelola bukanlah milik pribadi melainkan amanah masyarakat, maka akan tumbuh sikap kehati-hatian, tanggung jawab, serta komitmen untuk menghindari konflik kepentingan. Sebaliknya, jika aset desa terus dianggap sebagai bagian dari kekuasaan kepala desa atau perangkat lainnya, maka akan sulit mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Lebih jauh lagi, pemahaman ini juga penting bagi masyarakat agar mereka tidak bersikap pasif dalam hal pengawasan dan pemanfaatan aset desa. Ketika masyarakat sadar bahwa aset desa adalah milik bersama, maka mereka memiliki legitimasi moral dan hukum untuk menuntut keterbukaan informasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan pengawasan terhadap penggunaan aset tersebut. Dengan demikian, hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat tidak lagi bersifat vertikal-paternalistik, tetapi menjadi hubungan horizontal yang saling menguatkan dalam kerangka demokrasi desa.

Kesimpulannya, aset desa adalah milik seluruh masyarakat desa yang dikelola oleh pemerintah desa dalam kerangka hukum dan pemerintahan yang berlaku. Bukan milik kepala desa, bukan milik kelompok tertentu, apalagi milik perseorangan. Kesadaran kolektif inilah yang harus terus dibangun dan diperkuat agar pengelolaan aset desa dapat benar-benar menjadi sumber kesejahteraan bersama, bukan sumber konflik atau ketimpangan sosial di tengah masyarakat.

Siapa yang Bertanggung Jawab Mengelola Aset Desa?

Pertanyaan ini sering kali memunculkan kerancuan karena secara struktural, desa memiliki berbagai perangkat yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Namun, berdasarkan ketentuan yang berlaku, tanggung jawab utama pengelolaan aset desa berada di tangan kepala desa, yang dibantu oleh sekretaris desa dan perangkat lainnya.

Dalam praktiknya, struktur pengelolaan aset desa dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Kepala Desa: Bertanggung jawab penuh atas pengelolaan aset desa. Ia menetapkan kebijakan, memberikan izin pemanfaatan, serta memastikan keberlangsungan fungsi aset bagi masyarakat.
  2. Sekretaris Desa: Bertugas melakukan pencatatan administrasi, membuat daftar inventaris aset, dan mengelola dokumentasi aset.
  3. Kaur Keuangan dan Kaur Perencanaan: Berperan dalam merencanakan pengadaan, pemeliharaan, serta penghapusan aset sesuai dengan dokumen perencanaan desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).
  4. Badan Permusyawaratan Desa (BPD): Melakukan pengawasan dan memberikan persetujuan dalam kebijakan strategis, seperti kerja sama pemanfaatan aset dengan pihak ketiga atau penghapusan aset yang tidak layak pakai.
  5. Masyarakat Desa: Secara tidak langsung memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk mengawasi, menjaga, serta turut memanfaatkan aset desa secara bertanggung jawab.

Dengan demikian, pengelolaan aset desa adalah urusan kolektif yang melibatkan sistem pemerintahan desa secara menyeluruh, bukan sekadar urusan teknis semata. Sistem yang baik harus memungkinkan adanya kontrol sosial dari warga agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pembiaran terhadap aset-aset strategis milik desa.

Tantangan dalam Pengelolaan Aset Desa

Meski secara regulasi sudah cukup jelas, pelaksanaan pengelolaan aset desa di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak tantangan yang muncul, baik secara administratif, teknis, maupun kultural. Beberapa di antaranya adalah:

1. Minimnya Kapasitas SDM Desa

Sebagian besar desa masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia dalam bidang pengelolaan aset. Perangkat desa yang ada kerap belum memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis dalam pencatatan aset, pengelolaan dokumen, maupun pemanfaatan aset secara optimal.

2. Lemahnya Sistem Administrasi dan Inventarisasi

Banyak aset desa yang belum terdokumentasi secara baik, bahkan tidak tercatat sama sekali dalam buku inventaris. Akibatnya, ketika terjadi pergantian kepala desa atau perangkat lainnya, data aset menjadi kabur, bahkan menghilang. Ini membuka peluang terjadinya pengalihan kepemilikan secara ilegal atau tidak bertanggung jawab.

3. Konflik Kepentingan

Tidak jarang muncul konflik antara aparat desa, masyarakat, dan pihak ketiga terkait pemanfaatan aset desa. Ketika aset desa disewakan atau dikerjasamakan, tidak semua warga merasa dilibatkan atau mendapatkan manfaatnya. Hal ini bisa menimbulkan kecurigaan dan ketegangan sosial.

4. Belum Optimalnya Pemanfaatan

Banyak aset desa yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya, tanah kas desa yang dibiarkan kosong, bangunan kosong yang tak terawat, atau kendaraan dinas yang tidak digunakan sesuai kebutuhan pelayanan. Padahal aset tersebut bisa menjadi sumber pendapatan asli desa atau dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

5. Pengawasan yang Lemah

Fungsi pengawasan oleh BPD maupun lembaga lain masih belum berjalan secara efektif. Beberapa kasus menunjukkan bahwa BPD justru terlibat dalam proses pengelolaan aset tanpa memberikan kontrol yang semestinya. Selain itu, peran masyarakat dalam mengawasi juga belum optimal karena kurangnya transparansi dari pihak desa.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Beberapa rekomendasi yang bisa diterapkan adalah:

1. Penguatan Kapasitas Aparat Desa

Pelatihan dan pendampingan teknis terkait pengelolaan aset desa perlu ditingkatkan. Ini mencakup manajemen inventaris, administrasi keuangan, hingga kemampuan menjalin kerja sama ekonomi berbasis aset. Kementerian Dalam Negeri, melalui program pemberdayaan desa, bisa menjadi inisiator dalam hal ini.

2. Digitalisasi Inventaris Aset

Pemanfaatan teknologi informasi untuk pencatatan aset menjadi kebutuhan mutlak. Sistem Informasi Desa (SID) bisa dikembangkan agar mencakup fitur manajemen aset, sehingga memudahkan pelacakan, pengawasan, dan pelaporan secara real-time.

3. Perluasan Partisipasi Masyarakat

Desa perlu membuka ruang partisipatif yang lebih luas dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan aset. Musyawarah desa harus menjadi forum yang nyata, bukan formalitas belaka. Di sinilah letak nilai-nilai demokrasi desa dapat dikembangkan.

4. Pengawasan Multi-Pihak

Pengawasan aset desa sebaiknya dilakukan secara berlapis, tidak hanya oleh BPD, tetapi juga oleh inspektorat kabupaten, lembaga swadaya masyarakat, serta warga secara langsung. Mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) bisa dikembangkan di tingkat desa.

5. Optimalisasi Pemanfaatan Aset

Desa harus kreatif dan inovatif dalam mengelola aset menjadi sumber kesejahteraan. Misalnya, tanah desa bisa dikembangkan menjadi agrowisata, bangunan kosong bisa dijadikan co-working space atau pusat pelatihan warga, dan kendaraan bisa disewakan untuk layanan sosial.

Penutup

Aset desa adalah amanah besar yang tidak hanya menyangkut angka dan benda, tetapi juga menyangkut masa depan masyarakat desa itu sendiri. Pemahaman bahwa aset desa adalah milik bersama harus menjadi pondasi dalam pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Kepala desa dan perangkatnya harus menyadari bahwa tanggung jawab mereka bukan sekadar administratif, tetapi moral dan sosial.

Dalam konteks otonomi desa yang semakin diperkuat, pengelolaan aset desa menjadi indikator penting bagi kualitas tata kelola desa. Semakin baik pengelolaan asetnya, semakin kuat desa tersebut dalam mewujudkan kemandirian ekonomi, meningkatkan pelayanan publik, serta menciptakan harmoni sosial.

Maka, pertanyaan “aset desa milik siapa dan diurus siapa” harus dijawab dengan kesadaran kolektif: aset desa milik seluruh warga desa, dan dikelola secara bersama-sama untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama.