Pendahuluan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memegang peran penting dalam sistem pemerintahan desa sebagai lembaga perwakilan masyarakat yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengawasan BPD tidak hanya bertujuan memastikan legalitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran, tetapi juga untuk memastikan kebijakan dan program desa sejalan dengan aspirasi warga serta prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam praktiknya, efektivitas pengawasan BPD dipengaruhi oleh kapasitas kelembagaan, kompetensi anggota, dukungan regulasi, serta keterlibatan masyarakat.
Artikel ini menguraikan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kapasitas BPD dalam melaksanakan pengawasan secara efektif dan berkelanjutan. Pembahasan meliputi peran dan fungsi BPD, tantangan yang dihadapi dalam praktik pengawasan, kerangka hukum yang relevan, penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia, metode pengawasan yang adaptif, pemanfaatan teknologi informasi, hingga strategi kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Tujuan akhir adalah menyajikan panduan praktis yang dapat diadopsi oleh BPD, pemerintah desa, dan stakeholder terkait untuk memperkuat fungsi pengawasan demi tata kelola desa yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
1. Peran dan Fungsi BPD dalam Pengawasan
BPD adalah representasi lembaga legislatif desa yang memiliki tugas pokok melakukan perumusan aspirasi, pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan desa, serta penetapan peraturan desa bersama kepala desa dalam beberapa aspek. Fungsi pengawasan BPD mencakup verifikasi perencanaan, pengawasan terhadap pelaksanaan APBDes, pengawalan terhadap proses pengadaan barang dan jasa, serta memastikan penerapan kebijakan pelayanan publik di tingkat desa sesuai aturan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks pengawasan, BPD berfungsi sebagai penjaga kepentingan publik. BPD harus memastikan bahwa alokasi anggaran sesuai prioritas yang telah disepakati bersama dalam musyawarah desa dan peraturan desa. Ketika program berjalan, BPD bertugas mengawasi agar realisasi anggaran dilaksanakan tepat waktu, tepat sasaran, dan dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai. Selain itu, BPD memiliki fungsi kontrol sosial: menerima pengaduan masyarakat, menindaklanjuti indikasi penyimpangan, serta merekomendasikan perbaikan prosedur atau tindakan administratif.
Peran BPD juga strategis dalam memperkuat mekanisme checks and balances di pemerintahan desa. Di samping mengawasi, BPD dapat berperan sebagai fasilitator dialog antara masyarakat dan kepala desa, menjembatani isu-isu konflik kepentingan, dan mendorong partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan. Peran tersebut menjadikan BPD bukan sekadar pengawas statis, tetapi aktor dinamis yang turut membangun legitimasi kebijakan publik di tingkat desa.
Agar fungsi pengawasan ini efektif, BPD perlu menjalankan pengawasan secara berkala dan sistematis-misalnya monitoring rutin terhadap realisasi kegiatan, audit sederhana di tingkat desa, dan penyusunan laporan hasil pengawasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, BPD harus menjaga independensi dalam pengawasan: tidak terjebak dalam politisasi, tidak melakukan pengawasan yang bersifat represif, melainkan mengutamakan bukti, dialog, dan solusi. Peran proaktif BPD dalam perencanaan dan evaluasi menjadikan pengawasan bukan hanya alat korektif, tetapi juga instrumen preventif untuk mencegah maladministrasi.
Dengan peran yang demikian luas, peningkatan kapasitas BPD dalam pengawasan menjadi keharusan agar lembaga ini mampu menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan secara berimbang serta memberikan kontribusi nyata terhadap kualitas pemerintahan desa.
2. Tantangan dalam Praktik Pengawasan BPD
Meski memiliki peran strategis, BPD sering menghadapi beragam tantangan yang menghambat efektivitas pengawasan. Tantangan ini bersifat struktural, kelembagaan, teknis, hingga budaya, sehingga memerlukan pendekatan komprehensif untuk diatasi.
Secara kelembagaan, salah satu tantangan utama adalah
- Keterbatasan sumber daya manusia. Banyak anggota BPD dipilih berdasarkan ketersediaan representasi masyarakat, namun tidak selalu memiliki kompetensi teknis yang memadai-terutama dalam memahami tata kelola keuangan, perencanaan pembangunan, atau aturan hukum desa. Keterbatasan ini berpengaruh pada kualitas analisis dan kemampuan menilai laporan keuangan atau dokumen perencanaan.
- Lemahnya akses informasi menjadi hambatan praktis. Jika data perencanaan, pengadaan, dan realisasi anggaran tidak disampaikan lengkap dan tepat waktu oleh aparat desa, BPD sulit melakukan verifikasi dan pengawasan yang berbasis bukti. Keterbukaan informasi yang terbatas seringkali memperparah kesulitan ini, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang tanpa cepat terdeteksi.
- Adanya dinamika politik lokal dan tekanan sosial juga memengaruhi independensi BPD. Hubungan personal antaraktor desa dapat menciptakan konflik kepentingan; BPD yang memiliki kedekatan politik dengan kepala desa mungkin enggan melakukan pengawasan keras. Risiko intimidasi atau politisasi peran BPD menjadi masalah yang mengurangi efektivitas pengawasan.
- Tantangan regulasi dan kapasitas hukum: Banyak BPD tidak sepenuhnya memahami kerangka hukum yang mengatur wewenangnya, seperti Peraturan Menteri Desa dan aturan daerah setempat. Ketidaktahuan ini membatasi kemampuan BPD untuk menuntut ketaatan dan mengambil langkah administratif yang sah ketika menemukan penyimpangan.
- Keterbatasan sarana dan teknologi juga memengaruhi. Tanpa sistem informasi desa yang memadai, catatan administrasi cenderung manual, rawan kesalahan, serta sulit diakses untuk audit atau review. Hal ini memperlambat proses pengawasan dan mengurangi akurasi temuan.
- Budaya partisipasi masyarakat yang rendah membuat pengawasan berbasis komunitas kurang optimal. Jika masyarakat tidak tahu haknya atau tidak aktif menyampaikan aspirasi dan pengaduan, BPD kehilangan ujung tombak kontrol sosial yang seharusnya menjadi mitra aktif dalam pengawasan.
Mengatasi tantangan ini memerlukan upaya simultan: peningkatan kapasitas anggota BPD, perbaikan mekanisme keterbukaan data, penguatan regulasi dukungan, serta pembangunan budaya pengawasan partisipatif yang melibatkan masyarakat secara lebih intensif.
3. Kerangka Hukum dan Regulasi yang Mendukung Pengawasan BPD
Tata dasar pengawasan BPD berakar pada landasan hukum yang mengatur posisi, wewenang, dan prosedur kerja BPD dalam sistem pemerintahan desa. Memahami kerangka hukum ini penting agar tindakan pengawasan yang dilakukan sah, tepat prosedur, dan memiliki efek hukum bila diperlukan.
Di tingkat nasional, Undang-Undang Desa dan peraturan turunan (seperti Peraturan Menteri Desa, dan peraturan daerah) mengatur tugas BPD termasuk fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan penggunaan anggaran desa. Selain itu, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan memuat ketentuan akuntabilitas keuangan yang harus dipatuhi sehingga BPD memiliki dasar untuk meminta dokumen keuangan dan memverifikasi kepatuhan pengelolaan APBDes. Regulasi tersebut memberikan kewenangan formal BPD untuk menerima laporan, meminta klarifikasi, dan menyampaikan rekomendasi.
Di konteks regional, peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sering menetapkan mekanisme teknis keterlibatan BPD-misalnya format laporan realisasi, kewajiban publikasi APBDes, dan mekanisme mediasi jika terjadi sengketa. BPD harus familiar dengan regulasi ini agar dapat menegaskan haknya dalam meminta data dan menindaklanjuti temuan.
Kerangka hukum juga memberi pilihan mekanisme pengawasan: BPD dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyampaikan pendapat atas kebijakan desa yang dianggap menyimpang. Selain itu, BPD berwenang memanggil perangkat desa untuk klarifikasi, menginisiasi audit internal desa, atau mengusulkan pengaduan ke inspektorat kabupaten/kota jika ditemukan indikasi penyalahgunaan anggaran.
Namun, adanya regulasi belum cukup. Implementasi memerlukan pemahaman teknis terhadap prosedur administratif-misalnya format permintaan dokumen yang sah, pencatatan notulen rapat, tata cara pengajuan rekomendasi resmi, dan proses pelaporan kepada lembaga pengawas eksternal. Oleh karena itu, pembekalan regulasi dalam bentuk modul praktis dan handbook operasional sangat berguna.
Selain itu, harmonisasi regulasi sering menjadi PR: tumpang tindih antara ketentuan nasional dan peraturan daerah dapat menyebabkan kebingungan. Penguatan kapasitas legislatif lokal dan advokasi harmonisasi peraturan penting agar BPD memiliki kepastian hukum ketika menjalankan fungsi pengawasan.
Dengan landasan hukum yang jelas, BPD dapat bertindak tegas namun terukur; keterampilan membaca regulasi dan menerjemahkannya ke dalam langkah-langkah pengawasan operasional menjadi kunci efektivitas kerja lembaga ini.
4. Penguatan Kelembagaan BPD: Struktur, Prosedur, dan Manajemen Internal
Penguatan kelembagaan merupakan aspek penting agar BPD memiliki kapasitas struktur dan prosedur yang memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan secara konsisten. Kelembagaan yang kuat mencakup tata kerja internal, mekanisme koordinasi, pengelolaan sumber daya, serta sistem akuntabilitas.
- Struktur internal BPD perlu dirancang untuk efisiensi. Pembentukan komisi-komisi khusus-misalnya Komisi Pengawasan Keuangan, Komisi Perencanaan, dan Komisi Hukum-memungkinkan pembagian tugas yang lebih fokus. Setiap komisi diberi tugas, TOR, dan indikator kinerja (KPI) sehingga tanggung jawab pengawasan menjadi terukur. Struktur yang jelas membantu pendistribusian beban kerja dan mengoptimalkan kompetensi anggota.
- Prosedur kerja harus terdokumentasi. BPD membutuhkan SOP pengawasan yang memuat tahap perencanaan pengawasan, mekanisme permintaan dokumen, tata cara audit lapangan sederhana, prosedur pembuatan laporan hasil pengawasan, dan mekanisme tindak lanjut rekomendasi. SOP ini mempercepat proses kerja, mengurangi ambiguitas, serta menjadi dasar pelatihan bagi anggota baru.
- Manajemen sumber daya menjadi perhatian penting. BPD harus mengelola waktu pertemuan, anggaran operasional untuk kegiatan pengawasan, serta sumber daya logistik (ruang rapat, alat dokumentasi). Ketersediaan anggaran operasional memastikan BPD dapat melakukan kunjungan lapangan, mengundang narasumber, atau melaksanakan workshop. Mekanisme pengelolaan anggaran perlu transparan dan diaudit agar tidak menimbulkan masalah internal.
- Penguatan kapasitas administratif: pencatatan rapat, notulensi yang baik, arsip temuan pengawasan, dan pemeliharaan evidensi dokumenter menjadikan proses pengawasan dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan form baku saat audit lapangan memudahkan standarisasi temuan dan membangun jejak audit (audit trail).
- Mekanisme evaluasi internal: BPD perlu menetapkan evaluasi berkala terhadap kinerja pengawasan-misalnya review triwulan terhadap realisasi rekomendasi. Evaluasi ini sebaiknya melibatkan pihak eksternal independen secara periodik untuk mengukur kredibilitas dan efektivitas.
- Menjaga independensi kelembagaan: BPD harus menghindari praktek politisasi internal dan bertindak secara kolegial. Kebijakan anti-konflik kepentingan perlu disusun dan ditegakkan, termasuk kewajiban deklarasi apabila anggota memiliki hubungan keluarga atau bisnis terkait agenda yang diawasi.
Dengan penguatan kelembagaan seperti itu, BPD akan mampu menjalankan pengawasan yang lebih profesional, sistematis, dan berorientasi hasil.
5. Pengembangan Kapasitas SDM: Pelatihan, Sertifikasi, dan Pembelajaran Berkelanjutan
Sumber daya manusia adalah kunci utama efektivitas pengawasan BPD. Pengembangan kapasitas anggota BPD harus menjadi prioritas melalui program pelatihan, pembelajaran praktis, dan mekanisme sertifikasi atau pengakuan kompetensi.
- Pelatihan dasar wajib bagi anggota baru: pemahaman peraturan desa, prinsip penganggaran dan APBDes, teknik penelaahan dokumen, serta etika pengawasan. Pelatihan ini harus bersifat praktis dan berfokus pada keterampilan yang langsung dipakai-misalnya membaca laporan realisasi, memeriksa bukti pembayaran, serta menyusun rekomendasi yang actionable.
- Pelatihan lanjutan untuk komponen teknis: akuntansi dasar, teknik audit sederhana, manajemen proyek, pengadaan publik, dan analisis risiko. Modul-modul ini membantu anggota BPD memahami aspek teknis yang sering menjadi sumber ketidaksepakatan antara BPD dan aparatur desa. Pengenalan dasar-dasar auditing dan sampling juga sangat berguna agar pengawasan BPD memiliki basis bukti.
- Sertifikasi atau pengakuan kompetensi dapat meningkatkan legitimasi BPD di mata masyarakat dan pemangku kepentingan. Pemerintah kabupaten atau provinsi dapat mengembangkan skema sertifikasi minimal bagi anggota BPD-misalnya sertifikat pelatihan pengawasan desa-sebagai syarat mengikuti pengambilan keputusan tertentu. Sertifikasi mendorong standar kualitas dan komitmen belajar.
- Pembelajaran berkelanjutan melalui praktik: mentorship dengan anggota BPD senior, studi banding antar desa, dan program “learning by doing” di mana anggota mengikuti audit desa bersama tim inspektorat. Kegiatan tersebut memperkuat pemahaman kontekstual dan memperluas jaringan profesional.
- Penggunaan modul e-learning dan microlearning memudahkan akses pelatihan yang fleksibel. Dengan keterbatasan waktu anggota yang biasanya bukan pegawai penuh waktu, modul online singkat dapat menjadi solusi efektif untuk peningkatan kapasitas.
- Alokasi anggaran untuk pengembangan kapasitas harus dianggarkan dalam APBDes atau program kabupaten agar keberlanjutan terjamin. Program pelatihan harus dievaluasi dampaknya: apakah peserta menerapkan pengetahuan dalam pemeriksaan dan apakah ada perbaikan indikator pengawasan.
Dengan strategi pengembangan SDM yang komprehensif, anggota BPD akan lebih percaya diri, profesional, dan mampu melakukan pengawasan berbasis bukti yang konstruktif.
6. Metode Pengawasan Efektif: Berbasis Risiko, Partisipatif, dan Evidence-Based
Metode pengawasan yang dipakai BPD menentukan kualitas temuan dan relevansi rekomendasi. Pengawasan yang efektif menggabungkan pendekatan berbasis risiko, keterlibatan masyarakat, serta pengambilan keputusan yang berbasis bukti.
- Pengawasan berbasis risiko (risk-based oversight). BPD perlu memprioritaskan pengawasan pada area dengan risiko tinggi-misalnya proyek pembangunan fisik besar, pengadaan barang dan jasa, atau anggaran yang mengalami deviasi signifikan. Risiko dinilai berdasarkan dampak finansial, dampak pelayanan publik, dan kemungkinan terjadinya penyimpangan. Dengan demikian, alokasi sumber daya pengawasan menjadi efisien dan fokus.
- Pengawasan partisipatif melibatkan masyarakat dalam proses monitoring. Mechanism seperti forum warga, sistem pengaduan publik, dan pemantauan komunitas (community monitoring) menyediakan informasi real-time dan konfirmasi terhadap data administrasi. Partisipasi warga juga memperkuat legitimasi temuan dan memperbesar tekanan sosial bagi tindak lanjut rekomendasi.
- Pengawasan berbasis evidence: setiap rekomendasi harus didukung bukti dokumenter-nota, kwitansi, laporan fisik, foto, dan testimoni. BPD perlu menerapkan protokol pengumpulan bukti sederhana: form observasi, dokumentasi foto geotagging, dan checklist verifikasi. Standarisasi bukti memperkuat argumen dan mengurangi kemungkinan sengketa prosedural.
- Kombinasi teknik pengawasan: desk review terhadap dokumen perencanaan dan realisasi, kunjungan lapangan untuk verifikasi fisik, wawancara dengan pihak terkait, dan analisis finansial sederhana seperti perbandingan anggaran vs realisasi atau reasonableness test. Penggabungan teknik ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif.
- Pemanfaatan indikator kinerja dan monitoring berkala. BPD sebaiknya menetapkan indikator sederhana untuk memantau perkembangan-misalnya persentase realisasi fisik, selisih anggaran, waktu penyelesaian proyek, dan tingkat kepuasan masyarakat. Laporan berkala memudahkan deteksi tren penyimpangan.
- Mekanisme eskalasi yang jelas: jika temuan mengindikasikan penyimpangan material, BPD harus memiliki prosedur untuk mengeskalasi ke inspektorat, DPRD, atau penegak hukum sesuai tingkat beratnya temuan. Proses ini harus dilandasi analisis bukti dan dokumentasi lengkap.
Dengan metodologi yang sistematis-berbasis risiko, partisipatif, dan evidence-based-pengawasan BPD akan menjadi alat kontrol yang lebih tajam, efektif, dan dapat mendorong perbaikan kinerja pemerintahan desa.
7. Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Mendukung Pengawasan
Teknologi informasi membuka peluang besar untuk meningkatkan efektivitas pengawasan BPD. Sistem informasi yang tepat dapat mempercepat akses data, meningkatkan transparansi, serta memfasilitasi komunikasi antara BPD, pemerintah desa, dan masyarakat.
- Pengembangan sistem informasi desa (Sistem Informasi Desa/SID) yang memuat data perencanaan, APBDes, realisasi anggaran, dan laporan kegiatan sangat berguna. Dengan akses ke SID, BPD dapat melakukan verifikasi dokumen secara cepat tanpa harus meminta salinan fisik secara berkala. SID juga memudahkan monitoring real-time terhadap progres proyek.
- Penggunaan aplikasi mobile untuk verifikasi lapangan memungkinkan anggota BPD merekam temuan secara digital: foto geotag, catatan singkat, dan checklist terstruktur. Aplikasi ini mempercepat dokumentasi bukti dan mengurangi risiko kehilangan data. Selain itu, data yang terkumpul dapat langsung tersinkronisasi ke dashboard monitoring.
- Dashboard visualisasi data (data dashboard) yang menampilkan indikator kunci seperti realisasi anggaran, proyek berjalan, dan pengaduan masyarakat membantu BPD melihat gambaran besar serta tren. Visualisasi memudahkan komunikasi hasil pengawasan kepada publik dan pemangku kebijakan.
- Pemanfaatan media sosial dan platform pengaduan online membuka kanal partisipasi masyarakat. Kanal ini dapat menjadi sumber data early-warning mengenai masalah di lapangan. Namun perlu modul moderasi dan verifikasi untuk menghindari informasi menyesatkan.
- Pelatihan literasi digital bagi anggota BPD menjadi prasyarat. Tanpa kompetensi dasar penggunaan aplikasi dan pemahaman data, teknologi tidak akan efektif. Pelatihan mencakup penggunaan SID, aplikasi verifikasi, dan analisis data sederhana.
- Perhatian terhadap keamanan data dan privasi penting. Data keuangan dan data pribadi yang dipegang BPD harus dilindungi dengan akses berbasis peran, enkripsi, dan backup teratur. Kebijakan retensi data digital harus disesuaikan dengan aturan yang berlaku.
- Pemilihan solusi teknologi harus mempertimbangkan konteks lokal: konektivitas internet, perangkat yang dimiliki, dan kapasitas TI di tingkat kabupaten/kota. Solusi offline-first atau sinkronisasi ketika koneksi tersedia bisa menjadi opsi praktis untuk daerah dengan keterbatasan jaringan.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi secara tepat, BPD dapat meningkatkan kecepatan, akurasi, dan daya jangkau pengawasan sehingga proses pengambilan keputusan menjadi lebih responsif dan berbasis bukti.
8. Kolaborasi, Sinergi dengan Pemangku Kepentingan, dan Strategi Advokasi
Pengawasan yang efektif tidak dapat dilakukan sendiri; kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain memperkuat posisi BPD dan memperbesar peluang tindak lanjut temuan. Sinergi ini mencakup kerja sama dengan pemerintah desa, DPRD, inspektorat, masyarakat, media lokal, serta organisasi masyarakat sipil.
- Hubungan koordinatif dengan pemerintah desa harus dibangun atas dasar prinsip kemitraan. BPD sebaiknya berperan sebagai mitra kritis yang memberikan masukan konstruktif, bukan sebagai lawan permanen. Mekanisme komunikasi rutin-misalnya forum koordinasi bulanan-membantu mengurangi miskomunikasi dan mempercepat penyelesaian rekomendasi.
- Kolaborasi dengan inspektorat atau auditor internal pada tingkat kabupaten/kota sangat penting. Inspektorat memiliki kapasitas teknis lebih besar untuk investigasi mendalam; koordinasi membantu merujuk kasus yang memerlukan audit lebih lanjut. BPD dapat menjadi pengumpul data awal dan inspektorat menindaklanjuti secara formal.
- Keterlibatan DPRD atau wakil rakyat setempat juga strategis. BPD dapat melaporkan temuan penting ke DPRD untuk mendapatkan tekanan politik agar rekomendasi diimplementasikan atau untuk memicu pengawasan lanjutan pada tingkat lebih tinggi.
- Komunitas dan LSM lokal memainkan peran sebagai partner pemantauan dan advokasi. Kolaborasi dengan kelompok masyarakat meningkatkan legitimasi temuan serta memfasilitasi aksi kolektif jika diperlukan. Program pemantauan partisipatif yang terstruktur akan memperkokoh peran BPD sebagai mediator antara warga dan pemerintah desa.
- Penggunaan media lokal untuk publikasi temuan merupakan strategi advokasi yang efektif-tetapi harus hati-hati agar tidak menimbulkan kegaduhan yang kontraproduktif. Publikasi dapat dilakukan setelah proses klarifikasi dan pemberian kesempatan sanggah kepada aparatur desa, menjaga prinsip keadilan prosedural.
- Pembangunan jejaring antar-BPD di tingkat kecamatan atau kabupaten memungkinkan sharing best practice, benchmarking, dan dukungan kolektif. Jejaring ini bisa menjadi platform advokasi kebijakan di tingkat yang lebih tinggi.
- Strategi advokasi harus berbasis bukti dan memprioritaskan rekomendasi yang realistis. Penyusunan policy brief dan pertemuan dengan pemangku kepentingan kunci membantu menerjemahkan temuan teknis menjadi tuntutan kebijakan yang dapat diimplementasikan.
Dengan membangun kolaborasi yang strategis dan etis, BPD memperbesar kapasitas pengawasan dan memastikan rekomendasi yang dihasilkan memiliki peluang tinggi untuk diikuti dan berkontribusi pada perbaikan tata kelola desa.
Kesimpulan
Peningkatan kapasitas BPD dalam pengawasan merupakan upaya strategis untuk memperkuat tata kelola pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Langkah-langkah peningkatan harus menyentuh berbagai dimensi: pemahaman peran dan fungsi, penguatan kerangka kelembagaan, pemahaman regulasi, pengembangan kompetensi SDM, adopsi metode pengawasan berbasis risiko dan bukti, pemanfaatan teknologi informasi, serta penguatan kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Tantangan yang ada-seperti keterbatasan kapasitas, akses data, dan dinamika politik lokal-dapat diatasi melalui pendekatan komprehensif yang menggabungkan pelatihan, SOP, dan mekanisme dukungan anggaran.
Implementasi strategi tersebut memerlukan komitmen dari berbagai pihak: BPD sendiri, pemerintah desa, pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat. Investasi pada kapasitas BPD akan menghasilkan manfaat berlipat-mencegah penyalahgunaan anggaran, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa. Dengan langkah-langkah yang sistematis dan kolaboratif, BPD dapat menjadi pengawas yang efektif, mitra pembangunan, dan penjaga akuntabilitas publik di level desa.