Reformasi Agraria yang Terjadi di Indonesia Saat Ini

Reformasi agraria merupakan proses perubahan dan penyempurnaan sistem, struktur, prosedur, dan perilaku birokrasi pemerintahan dalam bidang pertanahan, agar lebih efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Reformasi agraria merupakan salah satu agenda pemerintahan Presiden Joko Widodo yang termasuk dalam program Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Reformasi agraria bertujuan untuk menata ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, serta menyelesaikan sengketa dan konflik agraria sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Program Utama Reformasi Agraria

Reformasi agraria yang terjadi di Indonesia saat ini dilakukan melalui tiga program utama, yaitu:

Redistribusi tanah

yaitu program yang mengalihkan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dari pihak yang memiliki tanah berlebih atau tidak memanfaatkannya secara optimal kepada pihak yang membutuhkan tanah atau dapat memanfaatkannya secara optimal, terutama masyarakat adat, miskin, dan rentan.

Redistribusi tanah dilakukan dengan menggunakan tanah negara, tanah terlantar, tanah guntai, tanah swapraja, tanah bekas HGU, dan tanah lain yang dikuasai oleh negara, dengan batas maksimum 4,5 hektar per keluarga. Redistribusi tanah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria¹.

Legalisasi tanah

yaitu program yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat atas tanah yang mereka kuasai, miliki, gunakan, dan manfaatkan, terutama tanah-tanah yang belum terdaftar atau bersertifikat.

Legalisasi tanah dilakukan dengan melakukan pendaftaran, pengukuran, pemetaan, dan sertifikasi tanah secara sistematis, lengkap, massal, dan online, dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Legalisasi tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah².

Pemberdayaan masyarakat

yaitu program yang meningkatkan kapasitas, kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan tanah, terutama melalui program-program pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan lain-lain.

Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan bantuan modal, sarana, prasarana, teknologi, pendidikan, pelatihan, bimbingan, dan fasilitasi kepada masyarakat, terutama kelompok tani, koperasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah.

Pemberdayaan masyarakat diatur dalam berbagai peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani³, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan lain-lain.

Hasil Positif yang Telah Terjadi

Reformasi agraria yang terjadi di Indonesia saat ini telah menunjukkan beberapa hasil positif, antara lain:

  • Meningkatnya jumlah tanah yang direformasi, dari 1,4 juta hektar pada tahun 2015 menjadi 4,1 juta hektar pada tahun 2019, yang meliputi 1,2 juta hektar tanah redistribusi dan 2,9 juta hektar tanah legalisasi.
  • Meningkatnya jumlah sertifikat tanah yang diberikan kepada masyarakat, dari 5,4 juta pada tahun 2015 menjadi 20,5 juta pada tahun 2019, yang meliputi 9,4 juta sertifikat tanah redistribusi dan 11,1 juta sertifikat tanah legalisasi.
  • Meningkatnya jumlah masyarakat yang diberdayakan, dari 1,2 juta keluarga pada tahun 2015 menjadi 4,1 juta keluarga pada tahun 2019, yang meliputi 1,2 juta keluarga penerima tanah redistribusi dan 2,9 juta keluarga penerima tanah legalisasi.

Tantangan dan Masalah yang Dihadapi

Reformasi agraria yang terjadi di Indonesia saat ini juga masih menghadapi beberapa tantangan dan masalah, antara lain:

  • Tidak adanya payung hukum yang kuat dan komprehensif untuk mengatur pertanahan secara menyeluruh, terpadu, dan berkeadilan. Meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), namun UUPA belum dijabarkan secara detail dan operasional dalam peraturan turunannya, sehingga masih banyak celah dan konflik dalam penerapannya.
  • Tidak optimalnya pelayanan pertanahan yang diberikan oleh pemerintah, baik dari segi kuantitas, kualitas, responsivitas, maupun inovasi. Banyak pelayanan pertanahan yang masih rumit, berbelit-belit, memakan waktu lama, dan memerlukan biaya tinggi, baik secara resmi maupun tidak resmi, sehingga menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya atas tanah.
  • Tidak transparannya dan akuntabelnya pengelolaan pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah, baik dari segi data, informasi, proses, maupun hasil. Banyak data dan informasi pertanahan yang tidak akurat, tidak lengkap, tidak terintegrasi, dan tidak mudah diakses oleh masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan sengketa. Banyak proses dan hasil pengelolaan pertanahan yang tidak jelas, tidak konsisten, tidak objektif, dan tidak adil, serta rentan terhadap praktik KKN.
  • Tidak efisiennya dan efektifnya penggunaan anggaran pertanahan yang dialokasikan oleh pemerintah, baik dari segi input, output, maupun outcome. Banyak anggaran pertanahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan prioritas, tidak digunakan secara optimal dan tepat sasaran, tidak menghasilkan manfaat yang maksimal, dan tidak dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel.

Solusi yang Perlu dilakukan

Untuk mengatasi tantangan dan masalah tersebut, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah, antara lain:

  • Menyelesaikan pembahasan dan pengesahan RUU tentang Pertanahan, yang merupakan turunan dari UUPA, yang mengatur tentang pendaftaran, pengukuran, pemetaan, sertifikat, izin, dan data tanah secara sistematis, lengkap, massal, dan online; redistribusi tanah yang lebih berkeadilan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat, terutama masyarakat adat, miskin, dan rentan; pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah, terutama hak ulayat atau hak masyarakat hukum adat; pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan tanah, terutama melalui program-program pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan lain-lain; penyelesaian sengketa dan konflik tanah secara damai, adil, dan cepat, melalui jalur non-litigasi, yaitu melalui musyawarah, mediasi, konsiliasi, atau arbitrase, yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, atau lembaga swadaya masyarakat.
  • Meningkatkan kualitas dan kapasitas pelayanan pertanahan yang diberikan oleh pemerintah, baik melalui peningkatan kompetensi dan integritas aparatur pertanahan, maupun melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Pelayanan pertanahan harus dilakukan dengan prinsip-prinsip good governance, yaitu partisipatif, konsensus, akuntabel, transparan, responsif, efektif, dan efisien.
  • Melakukan peningkatan kualitas dan kapasitas data dan informasi pertanahan, dengan cara: melakukan pendataan, pengukuran, pemetaan, dan sertifikasi tanah secara sistematis, lengkap, massal, dan online; melakukan penerapan sistem informasi pertanahan terintegrasi, seperti BDT, BDSN, BDPN, dan lain-lain; melakukan keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan data dan informasi pertanahan.
  • Melakukan peningkatan koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara sektor-sektor yang terkait dalam pelaksanaan reformasi agraria, dengan cara: menyusun dan melaksanakan rencana aksi nasional dan daerah tentang reformasi agraria; membentuk dan mengaktifkan tim koordinasi reformasi agraria di tingkat pusat dan daerah; melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan pertanahan yang ada di berbagai sektor

Sumber Referensi

https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-X-19-I-P3DI-Oktober-2018-195.pdf
https://nasional.tempo.co/read/1542079/sejumlah-masalah-di-balik-kesuksesan-reforma-agraria