Pendahuluan
Aset daerah-baik berupa tanah, bangunan, jalan, alat berat, maupun sumber daya alam-merupakan kekayaan publik yang harus dikelola secara profesional. Pencatatan yang akurat, pengendalian yang efektif, dan pemanfaatan optimal menjadi tiga pilar kunci dalam tata kelola aset daerah. Ketika ketiga aspek ini terjaga, pemerintah daerah dapat meningkatkan efisiensi anggaran, mencegah kebocoran nilai, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Artikel ini membahas secara mendalam langkah-langkah strategis, kebijakan, dan praktik terbaik dalam memastikan aset daerah tercatat dengan benar, terkendali melalui sistem, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
1. Landasan Regulasi dan Kebijakan Pengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan aset daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, melainkan harus berpijak pada kerangka regulasi yang tegas dan kebijakan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Aset daerah mencakup seluruh barang milik pemerintah daerah-baik yang berwujud maupun tidak berwujud-yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
1.1. Dasar Hukum: UU No. 1 Tahun 2004 dan Permendagri No. 19 Tahun 2016
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa pengelolaan aset negara, termasuk yang berada di bawah penguasaan pemerintah daerah, harus dilaksanakan secara tertib, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Di dalamnya terkandung prinsip bahwa aset negara bukan hanya alat pendukung kegiatan operasional pemerintahan, tetapi juga kekayaan publik yang wajib dipelihara dan dimanfaatkan secara optimal demi kesejahteraan rakyat.
Lebih teknis lagi, Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah menjadi acuan utama dalam mengatur siklus pengelolaan aset mulai dari perencanaan kebutuhan, pengadaan, pencatatan, pemanfaatan, hingga penghapusan. Regulasi ini memberikan instrumen dan standar prosedur operasional (SOP) yang harus dijalankan oleh setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
1.2. Kebijakan Pengelolaan: Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, dan Good Governance
Pemerintah daerah berkewajiban menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan aset agar setiap tahapannya bisa diawasi secara internal maupun eksternal. Prinsip akuntabilitas menuntut adanya pertanggungjawaban kinerja dari para pengelola aset di tingkat OPD. Sementara itu, prinsip transparansi diwujudkan melalui pelaporan terbuka, dokumentasi yang dapat diakses oleh auditor dan publik, serta sistem pengawasan yang partisipatif.
Kedua prinsip ini merupakan bagian dari semangat good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, yang juga mencakup prinsip efisiensi, efektivitas, partisipasi publik, dan supremasi hukum. Dalam konteks ini, pengelolaan aset bukan sekadar kegiatan administratif, tetapi bagian dari akuntabilitas kinerja keuangan daerah.
1.3. Integrasi Sistem: SIMDA Aset, SAP, dan e-Asset Management
Kemajuan teknologi informasi mendorong integrasi pengelolaan aset daerah dalam sistem digital. Salah satu sistem yang banyak digunakan adalah SIMDA Aset (Sistem Informasi Manajemen Daerah – Aset) yang dikembangkan oleh BPKP. Sistem ini membantu proses pencatatan, pengelompokan, penilaian, dan pelaporan aset secara real-time dan terstandar.
Integrasi dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) juga sangat penting agar laporan keuangan daerah dapat disusun secara akrual dan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Lebih lanjut, beberapa daerah mulai mengembangkan e-Asset Management System, sebuah platform daring berbasis cloud yang memungkinkan tracking aset melalui GPS, kode QR, atau teknologi lainnya.
Sistem-sistem ini bukan hanya memudahkan pengelolaan, tetapi juga meningkatkan akurasi, keamanan data, dan efisiensi pengawasan. Dengan dukungan sistem informasi yang terintegrasi, risiko penyalahgunaan, kehilangan, atau pengabaian aset dapat diminimalisir secara signifikan.
2. Pencatatan Aset Daerah Secara Akurat
Akuratnya pencatatan aset merupakan fondasi dalam seluruh tahapan pengelolaan. Tanpa data yang valid dan mutakhir, aset tidak bisa dikendalikan apalagi dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu membangun sistem inventarisasi dan pencatatan yang disiplin, berbasis teknologi, dan sesuai standar nasional.
2.1. Inventarisasi dan Verifikasi: Pemetaan Geospasial dan Kartu Inventaris Barang (KIB)
Inventarisasi adalah langkah awal yang mutlak dilakukan, melibatkan proses pengumpulan data aset secara menyeluruh, mulai dari lokasi, kondisi, status kepemilikan, hingga legalitas aset. Salah satu dokumen utama dalam proses ini adalah Kartu Inventaris Barang (KIB) yang dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi aset, seperti tanah, gedung, kendaraan, peralatan, dan aset tetap lainnya.
Untuk meningkatkan akurasi, pendekatan pemetaan geospasial sangat direkomendasikan. Dengan teknologi GIS (Geographic Information System), pemerintah daerah dapat memetakan sebaran aset berupa tanah, bangunan, atau infrastruktur lainnya dalam bentuk visual digital yang mudah dipantau dan diperbaharui.
Proses verifikasi lapangan juga penting untuk mencocokkan data dokumen dengan kondisi fisik dan hukum aktual. Hal ini sering kali menemukan perbedaan antara pencatatan dengan kenyataan di lapangan, seperti aset yang telah rusak tetapi belum dihapus, atau aset yang digunakan oleh pihak ketiga tanpa perjanjian resmi.
2.2. Klasifikasi dan Kodifikasi: Standar Kodefikasi Barang Milik Negara/Daerah
Setelah proses inventarisasi, langkah berikutnya adalah klasifikasi dan kodifikasi aset berdasarkan standar nasional. Standar ini merujuk pada Kodefikasi Barang Milik Negara/Daerah (BMN/BMD) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
Setiap aset harus memiliki kode unik berdasarkan kategori, subkategori, dan jenis barang. Misalnya, kendaraan roda empat dinas kesehatan akan memiliki kode berbeda dari kendaraan roda empat dinas pertanian. Kode ini digunakan dalam sistem informasi, laporan keuangan, serta audit.
Kodifikasi yang baik memungkinkan keterlacakan aset dengan mudah dan cepat, baik secara internal dalam pemerintahan maupun ketika dilakukan pemeriksaan oleh BPK atau inspektorat. Selain itu, klasifikasi yang tepat akan memudahkan dalam penilaian aset untuk penyusunan neraca keuangan daerah.
2.3. Penggunaan Teknologi: Barcoding, RFID, dan GIS untuk Tracking Aset
Teknologi menjadi kunci keberhasilan dalam pencatatan aset yang modern. Salah satu terobosan yang telah banyak digunakan adalah sistem barcoding-label kode batang yang ditempelkan pada setiap aset dan dipindai untuk mengakses informasi aset dalam database.
Teknologi yang lebih canggih seperti Radio Frequency Identification (RFID) memungkinkan pelacakan aset secara otomatis, bahkan dari jarak jauh. RFID sangat efektif untuk aset bergerak seperti kendaraan dinas atau alat berat.
Dalam konteks aset tanah dan bangunan, penggunaan GIS menjadi sangat relevan. Dengan sistem ini, aset dapat dipetakan secara visual di atas peta digital, lengkap dengan informasi koordinat, luas lahan, status kepemilikan, serta foto lapangan. Data ini tidak hanya memperkuat pencatatan, tetapi juga mendukung perencanaan tata ruang daerah.
Penggunaan teknologi ini, meski membutuhkan investasi awal, terbukti mampu mengurangi beban administrasi, mempercepat proses audit, dan meningkatkan akurasi data yang mendukung transparansi serta efisiensi pemerintahan daerah.
3. Pengendalian Aset melalui Proses dan Sistem
Setelah aset dicatat secara akurat, langkah berikutnya adalah memastikan bahwa pengelolaannya tetap dalam kendali pemerintah daerah secara ketat dan profesional. Pengendalian aset tidak sekadar mengandalkan niat baik individu pengelola, tetapi membutuhkan sistem, prosedur, serta mekanisme pengawasan yang terstruktur dan berbasis data. Dengan pengendalian yang efektif, aset tidak hanya terhindar dari penyimpangan, tetapi juga tetap dalam kondisi optimal untuk mendukung pelayanan publik.
3.1. Prosedur Mutasi dan Rekonsiliasi: Surat Perintah Mutasi dan Audit Internal
Mutasi aset adalah perpindahan atau perubahan kepemilikan dalam lingkup instansi, misalnya dari satu OPD ke OPD lain, atau dari kantor pusat ke unit daerah. Setiap proses mutasi harus didahului dengan dokumen formal berupa Surat Perintah Mutasi Barang Milik Daerah yang ditandatangani pejabat berwenang. Surat ini menjadi bukti administratif sekaligus dasar hukum perpindahan.
Setelah mutasi dilakukan, proses rekonsiliasi antara pencatatan aset dan kondisi fisik mutlak diperlukan. Rekonsiliasi secara periodik (bulanan, triwulanan, atau tahunan) membantu mendeteksi selisih data akibat kehilangan, kerusakan, atau salah pencatatan. Proses ini juga menjadi bagian dari audit internal, yang dilakukan oleh inspektorat daerah untuk memastikan bahwa seluruh transaksi dan kondisi aset sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Audit yang kuat tidak hanya memperkuat integritas pengelolaan, tetapi juga membangun budaya kerja yang bertanggung jawab dan mencegah kebocoran aset akibat kelalaian atau kesengajaan.
3.2. Pemeliharaan dan Pemusnahan: Jadwal Preventive Maintenance dan Kondisi Write-Off
Aset yang dimiliki tidak akan memberi manfaat optimal jika tidak dijaga kondisinya. Oleh karena itu, diperlukan jadwal pemeliharaan rutin (preventive maintenance), terutama untuk aset bergerak dan teknis seperti kendaraan, mesin, komputer, serta peralatan kantor. Pemeliharaan tidak boleh bersifat reaktif (baru diperbaiki saat rusak), melainkan preventif dan prediktif, dengan mengacu pada manual pemakaian dan masa guna aset.
Adapun untuk aset yang telah rusak total, usang, atau tidak bernilai ekonomis lagi, maka harus dilakukan proses penghapusan atau pemusnahan (write-off) sesuai regulasi. Prosedur ini harus didukung oleh berita acara pemeriksaan teknis, penilaian nilai sisa, serta surat keputusan kepala daerah. Proses pemusnahan ini penting agar data aset tidak membengkak dengan barang yang secara fungsional sudah tidak berguna.
Jika tidak dilakukan, hal ini berisiko menyebabkan distorsi data aset, yang berimbas pada laporan keuangan yang tidak wajar.
3.3. Pengamanan dan Asuransi: Satuan Pengelola Aset dan Skema Insurance Coverage
Keamanan aset merupakan aspek penting yang sering diabaikan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu membentuk atau mengoptimalkan peran Satuan Pengelola Aset (SPA), yakni unit kerja khusus yang bertugas mengawasi keamanan fisik aset, merawat data inventarisasi, serta bertindak cepat saat terjadi kehilangan atau kerusakan.
Pengamanan fisik dapat dilakukan melalui penjagaan, penguncian aset, penggunaan sistem CCTV, serta teknologi pelacakan. Untuk mengurangi risiko kehilangan nilai secara finansial akibat kejadian tak terduga (misalnya kebakaran, banjir, pencurian), maka aset-aset strategis perlu diasuransikan melalui skema perlindungan asuransi (insurance coverage).
Skema asuransi ini, meskipun membutuhkan premi tahunan, akan memberikan perlindungan jangka panjang yang sangat berharga, khususnya bagi aset produktif dan bernilai tinggi.
4. Pemanfaatan Aset untuk Peningkatan Pelayanan Publik
Aset tidak seharusnya menjadi beban, melainkan harus menjadi instrumen strategis untuk mendukung pelayanan publik yang lebih luas, cepat, dan berkualitas. Pemerintah daerah yang bijak akan melihat aset bukan sebagai barang mati, tetapi sebagai sumber daya produktif yang bisa dioptimalkan melalui kebijakan pemanfaatan yang kreatif, inklusif, dan berorientasi layanan.
4.1. Optimalisasi Gedung dan Ruang Publik: Kebijakan Sewa, Co-Working Spaces, dan Mall Pelayanan Publik
Gedung dan lahan milik pemerintah daerah sering kali dalam kondisi tidak termanfaatkan maksimal. Banyak bangunan pemerintah yang kosong, tidak efisien, atau hanya digunakan sebagian kecil kapasitasnya. Padahal, gedung-gedung ini bisa diubah menjadi ruang bersama (co-working spaces), pusat pelatihan masyarakat, pusat UMKM, atau menjadi bagian dari Mall Pelayanan Publik (MPP).
Melalui regulasi pemanfaatan gedung, pemerintah daerah bisa menyewakan sebagian ruangan kepada mitra usaha atau organisasi masyarakat dengan tarif yang kompetitif dan berbasis kontribusi sosial. Dengan cara ini, selain meningkatkan pemanfaatan aset, juga menciptakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kebijakan pemanfaatan ruang publik harus tetap menjaga fungsi sosial dan estetika kota, serta tidak mengganggu aksesibilitas masyarakat umum.
4.2. Pendayagunaan Armada dan Alat Berat: Skema Sharing Unit dan Layanan Berbayar
Aset berupa kendaraan dinas, armada kebersihan, alat berat konstruksi, atau mesin pertanian sering kali hanya digunakan secara terbatas. Sementara itu, daerah atau unit lain kekurangan sarana operasional. Di sinilah pentingnya skema sharing unit antar-OPD, antar-kecamatan, bahkan antar-daerah, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan aset.
Selain itu, pemerintah daerah juga bisa menyediakan layanan berbayar untuk masyarakat, misalnya penyewaan alat berat untuk perbaikan jalan desa, peminjaman tenda dan kursi untuk kegiatan sosial, atau penggunaan kendaraan pengangkut sampah secara sukarela. Model ini tidak hanya meningkatkan manfaat aset, tetapi juga memperluas pelayanan publik ke wilayah yang belum terjangkau.
Skema ini tentu harus didukung oleh sistem pencatatan, jadwal penggunaan, dan tarif pelayanan yang transparan.
4.3. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Perizinan Izin Pinjam Pakai, Konservasi Berbasis Komunitas
Aset berupa sumber daya alam seperti hutan kota, danau, kawasan lindung, dan taman regional juga merupakan aset daerah yang sangat berharga. Pengelolaan yang cerdas dapat mendukung konservasi, wisata alam, sekaligus pemberdayaan ekonomi lokal. Pemerintah daerah dapat membuka skema izin pinjam pakai terbatas, misalnya untuk penelitian, konservasi, pendidikan lingkungan, atau ekowisata berbasis komunitas.
Model ini harus disertai analisis dampak lingkungan (AMDAL) serta perjanjian penggunaan yang mengatur hak dan kewajiban secara ketat. Di sisi lain, pengelolaan berbasis komunitas (community-based resource management) dapat memberi ruang kepada masyarakat adat atau kelompok tani hutan untuk ikut menjaga dan memanfaatkan aset alam dengan pendekatan lestari.
Dengan strategi ini, sumber daya alam tidak hanya menjadi aset ekologis, tetapi juga aset sosial dan ekonomi yang bermanfaat langsung bagi masyarakat setempat.
5. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan Aset
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan vital dalam siklus pengelolaan aset daerah. Tanpa sistem monitoring yang efektif, pemerintah daerah berisiko kehilangan kendali atas nilai asetnya, mengalami inefisiensi penggunaan, hingga kesulitan dalam menyusun laporan akuntabilitas. Evaluasi bukan hanya soal pemeriksaan dokumen, tetapi juga menyangkut keberlanjutan fungsional, kondisi fisik, dan manfaat aset terhadap pelayanan publik.
5.1. Indikator Kinerja Aset: Tingkat Utilisasi, ROI Aset, dan Kondisi Fisik
Setiap aset harus diukur kinerjanya secara kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa indikator utama yang dapat digunakan antara lain:
- Tingkat Utilisasi (Usage Rate): Mengukur frekuensi dan durasi pemakaian aset. Aset dengan tingkat utilisasi rendah harus dievaluasi apakah masih diperlukan atau bisa dipindahtangankan.
- Return on Investment (ROI) Aset: Menghitung pendapatan atau manfaat sosial-ekonomi yang dihasilkan dibandingkan dengan biaya perolehan dan pemeliharaan. Aset yang memberikan nilai tambah tinggi menjadi prioritas dalam penganggaran dan pemeliharaan.
- Kondisi Fisik Aset: Dinilai berdasarkan inspeksi lapangan, laporan teknis, dan umur manfaat. Kondisi fisik yang menurun drastis dapat mempengaruhi efisiensi operasional dan perlu segera ditindaklanjuti dengan pemeliharaan atau penghapusan.
Evaluasi berbasis indikator ini mendorong kebijakan pengelolaan yang lebih berbasis data dan hasil.
5.2. Dashboard Aset Real-Time: Integrasi SIMDA dengan BI Tools
Pemanfaatan teknologi informasi secara maksimal memungkinkan pengelolaan aset yang transparan, akurat, dan responsif. Integrasi Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA Aset) dengan Business Intelligence (BI) tools menghasilkan dashboard yang menampilkan data real-time mengenai lokasi aset, status penggunaan, nilai buku, serta kondisi terkini.
Dashboard ini dapat diakses oleh pimpinan daerah, kepala OPD, hingga tim pengawasan, sehingga semua pihak memiliki pandangan yang sama terhadap performa aset. Visualisasi data melalui grafik, peta geospasial, dan indikator warna mempercepat pengambilan keputusan dan deteksi masalah.
Lebih dari itu, sistem digital ini bisa diintegrasikan dengan kode QR atau RFID, memungkinkan proses pelacakan fisik dan digital berlangsung secara bersamaan. Langkah ini penting menuju reformasi tata kelola aset yang transparan dan akuntabel.
5.3. Laporan Berkala dan Audit Eksternal: Laporan Semesteran, BPK, dan Inspektorat
Pengelolaan aset tidak lengkap tanpa pelaporan yang terstruktur. Laporan aset daerah idealnya disusun secara semesteran dan tahunan, dan dilaporkan kepada kepala daerah, DPRD, serta instansi pengawas.
Selain itu, laporan aset menjadi bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun. Pemerintah daerah yang tidak tertib dalam laporan aset biasanya mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) atau bahkan disclaimer, yang berpengaruh terhadap kepercayaan publik.
Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal juga wajib melakukan audit khusus aset, terutama saat terjadi perubahan signifikan seperti hibah besar, pemindahgunaan aset vital, atau penghapusan massal. Audit ini membantu menjaga integritas data dan mencegah potensi penyalahgunaan.
6. Studi Kasus: Kabupaten X Meningkatkan Efisiensi Aset
Untuk memahami bagaimana teori dan kebijakan diterapkan di lapangan, studi kasus Kabupaten X menjadi contoh nyata transformasi tata kelola aset dari yang semula tidak tertata menjadi lebih efisien, akuntabel, dan bermanfaat bagi pelayanan publik.
6.1. Inisiatif Pemetaan Tanah Canggih: Drone dan GIS
Kabupaten X mengawali reformasi pengelolaan aset dengan melakukan pemetaan tanah milik pemerintah menggunakan drone dan sistem Geographic Information System (GIS). Hasilnya, mereka berhasil memverifikasi lokasi, batas, dan status hukum dari ratusan bidang tanah yang selama ini tidak terdokumentasi dengan baik.
Teknologi ini membantu mencegah konflik kepemilikan, mempercepat proses sertifikasi aset, dan mendukung transparansi. Setiap aset diberi titik koordinat, sehingga memudahkan pencarian data oleh tim perencana dan pengambil keputusan.
Hasil pemetaan ini kemudian disinkronkan dengan data SIMDA dan menjadi landasan kuat untuk penyusunan rencana pengembangan wilayah serta mitigasi risiko kehilangan aset.
6.2. Program Co-Working di Kantor Operasional Terpadu
Melihat banyaknya gedung kantor yang tidak digunakan maksimal, Pemda X menginisiasi program co-working space di gedung operasional pemerintah yang under-utilized. Gedung tersebut disulap menjadi ruang layanan multi-instansi, pelatihan UMKM, ruang belajar digital, hingga kantor inkubator startup lokal.
Program ini tidak hanya menghidupkan kembali aset pasif, tetapi juga menciptakan ekosistem produktif yang mendorong inovasi dan keterlibatan masyarakat. Pemerintah hanya perlu menyediakan fasilitas dasar dan pengelolaan harian diserahkan kepada komunitas dan mitra sosial.
Efisiensi ruang ini juga mengurangi kebutuhan pembangunan gedung baru, sehingga terjadi penghematan anggaran pembangunan hingga 20% dalam 2 tahun.
6.3. Hasil dan Manfaat: Penghematan Anggaran dan Peningkatan Pelayanan
Hasil reformasi pengelolaan aset di Kabupaten X dapat diukur secara nyata:
- Lebih dari 95% aset tanah tersertifikasi dalam 3 tahun.
- Pendapatan dari pemanfaatan aset meningkat sebesar 40% melalui sewa, kerja sama operasional, dan layanan publik berbayar.
- Opini BPK meningkat dari WDP menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
- Tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan publik meningkat, terutama pada aspek ketersediaan ruang pelayanan, kecepatan layanan, dan keterbukaan informasi.
Kabupaten X menunjukkan bahwa dengan kemauan politik, investasi teknologi, serta pendekatan kolaboratif, pengelolaan aset bisa menjadi pilar kekuatan fiskal dan pelayanan pemerintah.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Aset daerah adalah tulang punggung keberlangsungan layanan publik dan pembangunan daerah. Namun untuk menjadi aset strategis, ia tidak bisa dikelola dengan pendekatan administratif semata. Diperlukan tata kelola yang menyeluruh: tercatat secara akurat, terkendali melalui prosedur yang disiplin, serta dimanfaatkan secara maksimal untuk kebutuhan masyarakat.
Beberapa rekomendasi kebijakan dan strategis ke depan meliputi:
- Peningkatan Kapasitas SDM: Melalui pelatihan teknis, sertifikasi manajemen aset, dan rotasi jabatan pengelola aset secara berkala untuk mencegah konflik kepentingan.
- Investasi Teknologi: Pemda harus berani berinvestasi pada sistem informasi modern seperti dashboard aset, integrasi SIMDA-GIS, dan pemanfaatan drone serta RFID.
- Kebijakan Pemanfaatan Inovatif: Mendorong pemanfaatan aset idle untuk co-working, layanan digital, urban farming, atau ruang kreatif.
- Transparansi dan Insentif: Memberi insentif kepada OPD yang mampu meningkatkan utilisasi dan pendapatan dari aset, serta membuka data aset kepada publik untuk diawasi bersama.
- Regulasi Turunan yang Kuat: Perlu Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang operasional dan rinci untuk menjabarkan tata cara pengelolaan aset yang sesuai dengan prinsip good governance.
Pada akhirnya, pengelolaan aset daerah bukan hanya tentang jumlah dan daftar barang, tetapi tentang bagaimana aset itu menjadi solusi atas kebutuhan publik-dari pelayanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga kesejahteraan ekonomi. Ketika aset dikelola secara profesional, maka pembangunan yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan bisa terwujud di setiap sudut daerah.