SIG dalam Penanggulangan Bencana Alam

1. Pendahuluan

Bencana alam-seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan letusan gunung berapi-menjadi ancaman besar bagi keselamatan manusia dan keberlanjutan pembangunan. Manajemen bencana modern membutuhkan pendekatan cepat, akurat, dan berbasis data. Sistem Informasi Geografis (SIG) hadir sebagai platform terintegrasi yang menggabungkan data spasial dan atribut untuk mendukung setiap fase penanggulangan bencana: mitigasi dan kesiapsiagaan (pra-bencana), respon darurat (saat bencana), serta rehabilitasi dan rekonstruksi (pasca-bencana).

2. Peran SIG dalam Manajemen Risiko Bencana

SIG berperan sentral dalam tahap awal penanggulangan bencana, yaitu fase mitigasi dan perencanaan risiko. Dengan kemampuan untuk memodelkan data spasial secara tematik dan analitis, SIG dapat mengidentifikasi, memvisualisasikan, dan memprediksi wilayah yang berpotensi terdampak bencana secara akurat. Hal ini memungkinkan pemerintah dan pemangku kebijakan untuk merancang strategi pengurangan risiko yang efektif dan berbasis bukti.

2.1. Identifikasi dan Pemodelan Risiko

Identifikasi risiko dimulai dengan pengumpulan dan integrasi berbagai sumber data yang menggambarkan kondisi fisik, lingkungan, dan sosial-ekonomi wilayah. SIG kemudian digunakan untuk melakukan analisis spasial dan membangun model risiko multi-hazard.

A. Sumber Data dan Jenis Risiko
  • Data Geologi & Geomorfologi:
    • Pemetaan patahan aktif, seperti sesar Lembang atau sesar Sumatra, yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah dengan potensi gempa tinggi.
    • Peta kemiringan lereng hasil ekstraksi dari Digital Elevation Model (DEM) sangat berguna untuk memetakan potensi tanah longsor.
    • Peta zonasi vulkanik, radius letusan, dan alur lahar merinci risiko letusan gunung api.
  • Data Hidrologi dan Curah Hujan:
    • Riwayat curah hujan 10-30 tahun terakhir digunakan untuk menghitung return period banjir.
    • Data sungai, anak sungai, dan saluran drainase dianalisis untuk mensimulasikan limpasan air dengan bantuan model hidrologi seperti HEC-RAS dan SWAT.
    • Output berupa flood inundation map memperlihatkan area yang kemungkinan besar akan tergenang.
  • Tutupan Lahan & Vegetasi:
    • Data NDVI dari citra satelit Landsat atau Sentinel dapat menunjukkan perubahan vegetasi yang memicu erosi atau hilangnya daya serap air.
    • Konversi hutan menjadi lahan pertanian atau permukiman meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
B. Metode Analisis SIG dalam Risiko Bencana
  • Overlay Analysis (Tumpang Susun Layer):
    Layer-layer seperti kemiringan, curah hujan, jenis tanah, dan kepadatan permukiman digabungkan untuk menghasilkan hazard map komposit.Contoh: untuk longsor, layer curah hujan, slope >15°, dan vegetasi tipis dapat digabung menjadi skor risiko tinggi.
  • Buffer Analysis (Zona Pengaruh):
    Diterapkan di sekitar sungai, lereng curam, atau jalur lava untuk membuat zona larangan bangun (no-build zone).Buffer 500 meter dari sungai besar, misalnya, dapat ditetapkan sebagai zona prioritas evakuasi saat banjir.
  • Digital Elevation Model (DEM) & Analisis Hidrologi:
    Menggunakan DEM (misalnya SRTM atau TanDEM-X), SIG dapat menghasilkan alur drainase, watershed delineation, dan flow accumulation.Model ini penting untuk memetakan jalur air, mengidentifikasi cekungan air, dan menyimulasikan sebaran lahar atau lumpur.
C. Pemodelan Risiko Multi-Bencana (Multi-Hazard Risk Modeling)

SIG memungkinkan pemodelan terintegrasi beberapa jenis bencana sekaligus, seperti gempa, banjir, dan tanah longsor, dalam satu platform.Setiap jenis bencana dianalisis dengan bobot tertentu, dan hasil akhirnya berupa composite risk map yang mengkategorikan wilayah sebagai:

  • Risiko sangat tinggi
  • Risiko tinggi
  • Risiko sedang
  • Risiko rendah

Hasil ini sangat penting dalam menentukan prioritas pembangunan, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan penyusunan rencana kontinjensi daerah.

2.2. Pemetaan Zona Rawan

Setelah pemodelan risiko dilakukan, SIG digunakan untuk memetakan secara rinci zona rawan-area yang memiliki potensi tinggi terhadap dampak bencana. Zona-zona ini dipetakan berdasarkan intensitas potensi bahaya, kerentanan, dan kapasitas masyarakat atau infrastruktur dalam meresponnya.

A. Zona Rawan Gempa
  • Parameter Penentu:
    • Jarak ke sumber gempa (epicenter).
    • Kedalaman batuan dan jenis tanah (zona tanah lunak memperbesar amplitudo getaran).
    • Potensi likuifaksi akibat saturasi air tanah dan gempa kuat.
  • Hasil SIG:
    • Peta intensitas gempa berdasarkan skala Modified Mercalli Intensity (MMI).
    • Peta potensi likuifaksi.
    • Peta permukiman padat di zona rawan.
B. Zona Rawan Banjir
  • Input Data:
    • Elevasi wilayah, sistem drainase, penggunaan lahan, dan data curah hujan ekstrem.
  • Simulasi Hasil:
    • Peta flood depth menunjukkan kedalaman genangan dalam skenario curah hujan 100 tahunan.
    • Peta time of concentration menunjukkan seberapa cepat suatu kawasan terendam setelah hujan deras.
    • Lokasi rawan jembatan terputus dan jalan terendam.
C. Zona Rawan Tsunami
  • Faktor Kritis:
    • Elevasi lahan di bawah 10 meter dari permukaan laut.
    • Kedekatan garis pantai dengan sumber gempa bawah laut.
    • Kepadatan penduduk dan infrastruktur pantai.
  • Keluaran SIG:
    • Peta zona merah (high impact), zona kuning (moderate impact), dan zona hijau (low impact).
    • Jalur evakuasi dan titik kumpul berdasarkan waktu tempuh aman (golden time ± 30 menit).
D. Integrasi dalam Perencanaan Wilayah

Peta zona rawan hasil SIG digunakan untuk:

  • RTRW dan RDTR: Menentukan batasan pemanfaatan lahan berdasarkan risiko.
  • Rencana Investasi Daerah: Menghindari pembangunan infrastruktur mahal di area dengan risiko tinggi.
  • Skenario Simulasi: Menguji bagaimana kota akan terdampak dalam skenario bencana tertentu.

Dengan pendekatan SIG yang komprehensif ini, pemerintah daerah dan instansi kebencanaan dapat:

  • Mengantisipasi kerugian dengan merancang pembangunan yang lebih resilien.
  • Mengedukasi masyarakat dengan visualisasi yang mudah dipahami.
  • Mengelola sumber daya secara efisien saat merespon bencana.

Langkah selanjutnya adalah membangun sistem pemantauan real-time dan early warning berbasis data spasial, sehingga respons dapat dilakukan jauh lebih cepat dan tepat sasaran.

3. Mitigasi dan Kesiapsiagaan Berbasis SIG

Setelah tahap identifikasi risiko dan pemetaan zona rawan dilakukan, langkah krusial berikutnya adalah menyusun strategi mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. SIG berperan sebagai alat bantu pengambilan keputusan dalam merancang kebijakan spatial planning (penataan ruang), edukasi masyarakat, hingga sistem peringatan dini berbasis lokasi dan waktu. Pendekatan ini memungkinkan tindakan preventif yang lebih efektif dan respons yang lebih cepat saat bencana terjadi.

3.1. Perencanaan Tata Ruang

SIG mendukung pemerintah daerah dalam menyusun tata ruang yang adaptif terhadap risiko bencana melalui integrasi data spasial dengan kebijakan pembangunan.

A. No-Build Zones (Zona Terlarang Bangun)
  • Berdasarkan hasil overlay peta risiko (banjir, longsor, tsunami), SIG mengidentifikasi wilayah yang tidak layak huni karena potensi bahaya tinggi.
  • No-Build Zones ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan diintegrasikan ke dokumen legal seperti Perda.
  • Contoh: Wilayah dengan slope >45°, sempadan sungai 50-100 meter, atau zona tsunami level merah dikunci dari aktivitas pembangunan.
B. Green Infrastructure & Resapan Air
  • SIG dapat memetakan lokasi potensial untuk pengembangan ruang terbuka hijau (RTH), taman kota, dan area resapan air seperti taman bioretensi.
  • Dengan bantuan analisis runoff dan land use, pemerintah dapat menentukan di mana limpasan air hujan dapat dikendalikan.
  • Ini mendukung pembangunan kota berketahanan banjir melalui pendekatan berbasis alam (nature-based solution).
C. Penentuan Letak Infrastruktur Kritis
  • RS, sekolah, pos komando bencana, dan gudang logistik harus berada di zona aman dengan aksesibilitas tinggi.
  • SIG digunakan untuk analisis least-risk location berdasarkan risiko gempa, banjir, dan likuifaksi.
  • Juga diperhitungkan konektivitas terhadap jaringan jalan evakuasi, waktu tempuh, serta kedekatan dengan pusat populasi.
D. Integrasi dalam RDTR dan KDB (Koefisien Dasar Bangunan)
  • Regulasi teknis seperti KDB dan KLB dapat disesuaikan berdasarkan tingkat risiko.
  • Misalnya, di zona rawan gempa, KDB maksimal 40% dan bangunan harus berlantai 1-2 saja.

3.2. Edukasi dan Simulasi

Peran SIG dalam edukasi dan simulasi sangat penting untuk membangun literasi risiko di masyarakat serta melatih respons evakuasi dalam kondisi nyata.

A. Story Maps Interaktif

  • Menggabungkan narasi, foto, video, dan layer peta, story maps menjadi alat edukasi yang kuat.
  • Contoh: Menjelaskan bahaya banjir di kelurahan tertentu lengkap dengan kisah warga, foto banjir terdahulu, dan jalur evakuasi.
  • Cocok untuk sosialisasi di sekolah, kantor kelurahan, atau forum warga.

B. Simulasi Evakuasi Digital

  • SIG digunakan untuk evacuation modeling dengan mempertimbangkan kecepatan berjalan kaki, kepadatan penduduk, dan lebar jalan.
  • Hasilnya: peta waktu tempuh (isochrone map) ke titik kumpul terdekat.
  • Dapat digunakan untuk mengidentifikasi bottleneck (kemacetan saat evakuasi) dan memperbaiki desain jalur.

C. Peta Jalur Evakuasi dan Titik Kumpul

  • Setiap dusun atau RT dapat memiliki peta evakuasi berbasis SIG yang menampilkan:
    • Jalur utama dan jalur alternatif evakuasi
    • Titik kumpul (open space) terdekat
    • Posko terdekat dan fasilitas darurat (ambulans, logistik)
  • Semua ini bisa disebarluaskan dalam bentuk cetak, online, dan QR code yang ditaruh di balai desa atau sekolah.

3.3. Sistem Peringatan Dini

SIG menjadi fondasi visual dan analitis dari sistem peringatan dini modern. Integrasi antara sensor, sistem komunikasi, dan peta digital memungkinkan informasi peringatan yang cepat, tepat, dan mudah dipahami.

A. Integrasi IoT & Sensor Lapangan
  • Sensor curah hujan otomatis (tipping bucket rain gauge), pengukur tinggi muka air (water level sensor), dan seismometer dikoneksikan ke sistem berbasis SIG.
  • Data real-time dikirim melalui jaringan seluler atau LoRa ke server pusat, lalu divisualisasikan dalam dashboard GIS.
B. Peta Dinamis Berbasis Real-Time
  • Saat parameter risiko melebihi ambang batas (misalnya curah hujan >100 mm/jam), sistem memicu alarm dan memunculkan layer zona terdampak.
  • Peta ini bisa diakses publik via WebGIS atau ditampilkan di layar di kantor kelurahan atau BPBD.
C. Titik Peringatan dan Rute Evakuasi
  • Lokasi sirine, pengeras suara, posko darurat, dan titik kumpul warga dipetakan untuk memastikan cakupan peringatan maksimal.
  • Jalur evakuasi dan lokasi posko divisualisasikan dalam skenario zona banjir atau gempa.
D. Contoh Implementasi
  • Kota Semarang mengintegrasikan data sensor banjir ke SIBASIR (Sistem Informasi Banjir dan Rob), yang menampilkan visualisasi real-time.
  • DI Yogyakarta memiliki sistem pemantauan aktivitas Gunung Merapi yang terhubung ke peta risiko via aplikasi BPBD.

Dengan SIG, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana tidak hanya bergantung pada intuisi atau dokumen tekstual, melainkan pada visualisasi data dan simulasi skenario yang konkret. Hal ini memperkuat daya tanggap pemerintah dan meningkatkan kesadaran serta kesiapan masyarakat, yang merupakan kunci dalam membangun ketahanan bencana secara menyeluruh.

4. Respons Cepat Saat Bencana

Dalam fase tanggap darurat bencana, waktu dan koordinasi adalah dua faktor yang sangat krusial. SIG (Sistem Informasi Geografis) memiliki peran vital dalam memastikan respon bencana berjalan cepat, terarah, dan tepat sasaran. Melalui peta digital yang diperbarui secara real-time, tim tanggap darurat dapat memahami situasi lapangan, mengarahkan logistik dengan efisien, serta menghindari keterlambatan atau duplikasi bantuan. Di sinilah SIG menjelma menjadi pusat kendali visual dan strategis dalam manajemen darurat.

4.1. Pemetaan Dampak dan Distribusi Bantuan

A. Identifikasi Daerah Terdampak

SIG memungkinkan identifikasi wilayah yang terdampak secara cepat melalui pemrosesan data satelit dan laporan lapangan yang terintegrasi.

  • Citra Satelit & Drone: Dalam hitungan jam, citra Sentinel, PlanetScope, atau hasil pemetaan drone dapat dianalisis untuk mengidentifikasi rumah rusak, sawah tergenang, atau jalan terputus.
  • Layer Peta Administrasi: Data desa, kelurahan, RT/RW di-overlay dengan data banjir, tanah longsor, atau gempa untuk mengetahui tingkat dampak.
  • Heatmap Dampak: Daerah yang paling parah ditandai dengan warna intens (merah) dan menjadi prioritas bantuan.
B. Lokasi Pengungsian & Rute Logistik
  • SIG digunakan untuk menentukan jalur distribusi bantuan tercepat, terutama saat jalur utama terputus.
  • Dengan analisis jaringan jalan (Network Analysis), dapat dihitung rute alternatif menuju lokasi pengungsian berdasarkan panjang jalan, kondisi medan, dan status jalan (tersumbat/tidak).
  • Mapping Lokasi Pengungsian Sementara (LPB): Termasuk kapasitas, fasilitas medis, air bersih, dan jarak dari titik bencana.
C. WebGIS Publik untuk Update Situasi
  • WebGIS seperti Geoportal BNPB, InaRISK, atau portal SIG daerah memberikan transparansi kepada masyarakat dan relawan.
  • Informasi meliputi:
    • Titik rawan dan terdampak
    • Jalan yang bisa dilalui
    • Lokasi posko dan dapur umum
    • Perkiraan cuaca harian
  • Contoh: Selama banjir Jakarta, Dinas SDA menyajikan peta banjir harian berbasis SIG untuk memudahkan warga mengambil keputusan.
D. Analisis Aksesibilitas Fasilitas Kritis
  • SIG menampilkan status fasilitas vital: rumah sakit, SPBU, PLN, pasar, dan aksesnya.
  • Ini membantu memprioritaskan rute evakuasi dan distribusi logistik ke titik yang paling membutuhkan.

4.2. Koordinasi Lintas Lembaga

Dalam situasi darurat, koordinasi yang buruk bisa menyebabkan tumpang tindih bantuan atau malah kelambatan di wilayah kritis. SIG memfasilitasi komunikasi antar lembaga melalui visualisasi yang seragam dan pembagian data yang terstandarisasi.

A. Dashboard Terpusat
  • Lembaga seperti BNPB, Basarnas, TNI, dan PMI kini menggunakan dashboard GIS terpadu untuk mengakses data yang sama.
  • Fitur dashboard meliputi:
    • Jumlah pengungsi per lokasi
    • Status kebutuhan logistik
    • Lokasi infrastruktur rusak
    • Estimasi korban terdampak
B. Data Sharing via Cloud GIS
  • Cloud GIS memungkinkan semua stakeholder mengakses peta dan data lapangan secara serempak tanpa perlu mengunduh file besar.
  • Contoh platform: ArcGIS Online, QGIS Cloud, atau Google Earth Engine (untuk data raster bencana).
  • Proses update bisa dilakukan langsung dari lapangan, sehingga semua pihak bekerja berdasarkan data terbaru.
C. Pemetaan Relawan dan Logistik
  • SIG digunakan untuk memetakan posisi tim SAR, relawan, tenaga medis, dan logistik.
  • Setiap tim atau kendaraan diberi tracking GPS, lalu divisualisasikan di peta operasi.
  • Manfaat:
    • Mengetahui area yang belum terjangkau bantuan
    • Menghindari penumpukan bantuan di satu titik
    • Mengatur rotasi tim SAR dengan efisien
D. Simulasi dan Skenario Alternatif
  • Bila cuaca ekstrem diperkirakan kembali, SIG membantu menyusun rencana kontingensi dengan simulasi peta dampak baru.
  • Peta what-if scenario ini digunakan dalam briefing harian tim tanggap bencana.
E. Contoh Implementasi Nyata
  • Gunung Agung 2017: Peta evakuasi dan distribusi pengungsi dibuat dengan bantuan WebGIS berbasis ArcGIS Online.
  • Gempa Palu 2018: Relawan SIG mengintegrasikan data crowdsourcing ke dalam portal GeoNode untuk membantu koordinasi penyaluran bantuan.

5. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Berbasis SIG

Setelah fase tanggap darurat selesai, proses rehabilitasi dan rekonstruksi memerlukan pendekatan yang sistematis, berbasis data, dan berorientasi pada ketahanan jangka panjang. SIG (Sistem Informasi Geografis) memainkan peran penting dalam menilai dampak, merancang pemulihan, serta memantau progres pembangunan kembali. Dengan basis peta digital dan analisis spasial, pemerintah dapat memastikan bahwa pemulihan tidak hanya membangun kembali seperti semula, tetapi menjadi lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih adaptif terhadap bencana di masa depan.

5.1. Evaluasi Kerusakan

A. Analisis Citra Sebelum dan Sesudah (Before-After Analysis)
  • SIG memungkinkan penggunaan citra satelit (misalnya Sentinel-2, PlanetScope) atau data drone untuk membandingkan kondisi pra dan pasca-bencana.
  • Dengan teknik change detection, luas wilayah yang rusak seperti hutan, lahan pertanian, atau pemukiman dapat dihitung secara kuantitatif.
B. Inventarisasi Infrastruktur Rusak
  • Melalui overlay peta infrastruktur dengan peta dampak, dapat dihitung jumlah:
    • Jalan rusak (dalam km), termasuk kategori ringan hingga rusak total.
    • Jembatan putus, dengan informasi penting seperti lebar sungai dan nilai strategis.
    • Bangunan: Rumah tinggal, sekolah, rumah sakit, pasar, masjid.
    • Fasilitas publik: SPBU, gardu listrik, menara telekomunikasi.
  • Semua data kerusakan ini dimasukkan ke dalam basis data spasial untuk digunakan dalam penyusunan dokumen rehabilitasi.
C. Pemetaan Risiko Residual
  • Evaluasi juga mencakup risiko sisa (residual risk) seperti:
    • Lereng yang masih berisiko longsor ulang.
    • Sungai yang mengalami sedimentasi pasca-banjir dan rawan meluap kembali.

5.2. Perencanaan Pemulihan dan Rekonstruksi

A. Identifikasi Lokasi Relokasi
  • SIG digunakan untuk menentukan lokasi permukiman baru bagi masyarakat terdampak, dengan mempertimbangkan:
    • Jauh dari zona rawan (buffer zona bahaya).
    • Akses ke jalan utama, air bersih, dan fasilitas sosial.
    • Kepemilikan tanah dan status hukum lahan.
B. Desain Ulang Infrastruktur Kritis
  • Jalan dan jembatan yang hancur didesain ulang menggunakan data SIG:
    • Rute baru lebih tahan bencana (hindari tebing curam, sungai lebar).
    • Drainase disesuaikan dengan simulasi debit banjir maksimum.
    • Jembatan didesain berdasarkan peta elevasi digital (DEM) untuk mengantisipasi aliran deras.
  • Jaringan air minum, sanitasi, dan komunikasi juga disusun ulang agar lebih resilien.
C. Simulasi Skenario Masa Depan
  • SIG dapat digunakan untuk membuat proyeksi kebutuhan infrastruktur dalam 10-20 tahun ke depan berdasarkan:
    • Pertumbuhan penduduk.
    • Perluasan wilayah terbangun.
    • Potensi ancaman baru (misalnya dampak perubahan iklim).
  • Model skenario ini membantu perencana dalam membangun wilayah yang tangguh secara spasial dan sosial.

5.3. Dokumentasi dan Pelaporan Progres

A. Peta Dinamis Time-Series
  • Proses rehabilitasi dapat divisualisasikan dalam bentuk peta yang menunjukkan:
    • Wilayah selesai dibangun (ditandai hijau).
    • Wilayah masih dalam tahap konstruksi (kuning).
    • Wilayah yang belum tersentuh (merah).
  • Peta ini diperbarui per minggu/bulan dan disebarluaskan melalui WebGIS.
B. Laporan Interaktif untuk Transparansi
  • Pemerintah dan donor dapat mengakses dashboard laporan interaktif yang menyajikan:
    • Progres pembangunan (% realisasi).
    • Peta kerusakan awal.
    • Distribusi bantuan hingga tingkat desa.
  • Laporan ini sangat membantu untuk:
    • Monitoring internal oleh pemerintah.
    • Transparansi publik dan media.
    • Proposal pendanaan lanjutan kepada donor nasional dan internasional.

6. Studi Kasus

6.1. Letusan Gunung Merapi

  • Pemetaan Bahaya Erupsi: Menggunakan data historis letusan dan kontur elevasi, dibuat peta zona rawan 3 tingkat (KRB I, II, III).
  • Pemantauan Aliran Lava: Diperoleh melalui drone survey dan DEM yang dikombinasikan untuk model aliran lava dan guguran awan panas.
  • Penempatan Jalur Evakuasi: SIG menentukan jalur keluar tercepat dari desa-desa di lereng yang berisiko tinggi, dengan waktu tempuh simulatif di bawah 15 menit.
  • Zona Relokasi: Beberapa dusun direlokasi ke wilayah lebih aman dengan tata letak permukiman baru berbasis GIS.

6.2. Banjir Jakarta

  • Model Hidrologi Perkotaan: SIG digunakan untuk menggabungkan data:
    • Curah hujan BMKG.
    • Peta kontur dan drainase.
    • Kepadatan bangunan dan lahan kedap air.
  • Peta Titik Genangan: Ditampilkan melalui WebGIS real-time yang terhubung ke sensor banjir dan CCTV milik dinas PU.
  • Pemodelan Evakuasi: Jalur evakuasi ditentukan berdasarkan ketinggian air simulatif dan kecepatan aliran air di kanal.

7. Tantangan dan Inovasi

7.1. Tantangan

A. Data yang Kurang Mutakhir
  • Banyak wilayah belum memiliki peta topografi terbaru atau data spasial high-resolution.
  • Sensor banjir, gempa, dan tanah longsor belum merata di seluruh Indonesia.
B. Keterbatasan SDM Terlatih
  • Tenaga SIG yang mahir dalam analisis raster, machine learning, dan pemodelan jaringan masih terbatas.
  • Perlu pelatihan lanjutan untuk ASN daerah.
C. Fragmentasi Data dan Koordinasi
  • Masih terjadi silo antar instansi, dengan format dan standar metadata yang berbeda.
  • Kesulitan integrasi peta infrastruktur dengan peta sosial-ekonomi dan data sektor lainnya.

7.2. Inovasi

A. Machine Learning untuk Prediksi
  • Model prediksi longsor dengan memanfaatkan pola historis curah hujan, tekstur tanah, dan vegetasi menggunakan algoritma Random Forest atau Gradient Boosting.
B. Mobile GIS dan Crowdsourcing
  • Aplikasi berbasis Android memungkinkan warga melaporkan kerusakan atau kebutuhan bantuan dengan GPS dan foto.
  • Data ini menjadi input peta crowdsourcing pemerintah.
C. Cloud GIS dan Kolaborasi Real-time
  • Google Earth Engine (GEE) digunakan untuk pemantauan tutupan lahan pasca-bencana.
  • ArcGIS Online & QGIS Cloud: Memungkinkan lintas lembaga mengakses peta yang sama dan mengedit data secara bersama.

8. Kesimpulan

SIG adalah tulang punggung penanggulangan bencana alam. Dengan integrasi data spasial, kemampuan analisis, dan visualisasi, SIG mendukung mitigasi, kesiapsiagaan, respons, serta rekonstruksi. Adopsi teknologi terbaru-AI, IoT, Cloud GIS-dan partisipasi masyarakat memperkuat ketahanan dan efektivitas manajemen bencana berbasis data.