Membangun Ekowisata untuk Keberlanjutan

Pendahuluan

Ekowisata, sebuah konsep pariwisata yang mengutamakan pelestarian lingkungan, pelibatan masyarakat, dan edukasi tentang alam, telah menjadi tren global dalam menghadapi tantangan kerusakan ekosistem dan krisis iklim. Bagi Indonesia, negara dengan keanekaragaman hayati terkaya keempat di dunia, potensi ekowisata sangat besar untuk dikembangkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan pemeliharaan sumber daya alam. Namun, pembangunan ekowisata tidak boleh semata mencari keuntungan jangka pendek; ia harus dirancang untuk keberlanjutan-menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologis. Artikel ini mengulas secara mendalam langkah-langkah strategis, tantangan, dan best practice dalam membangun ekowisata yang berkelanjutan, mencakup perencanaan destinasi, partisipasi masyarakat, pengelolaan konservasi, infrastruktur ramah lingkungan, pemasaran bertanggung jawab, dan kerangka monitoring evaluasi.

1. Landasan Konsep Ekowisata dan Prinsip Keberlanjutan

1.1. Definisi Ekowisata: Pariwisata Berbasis Alam dan Edukasi

Ekowisata, atau ecotourism, merupakan bentuk pariwisata yang menekankan pengalaman berwisata ke kawasan alami dengan fokus pada pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan edukasi wisatawan. Tidak sekadar menikmati keindahan alam, wisatawan dalam ekowisata didorong untuk memahami nilai ekologis, keanekaragaman hayati, serta peran masyarakat setempat dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Definisi dari The International Ecotourism Society (TIES) menekankan bahwa ekowisata harus bersifat bertanggung jawab, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya, serta mendatangkan manfaat konservasi. Oleh karena itu, ekowisata tidak identik dengan wisata alam biasa; ia membawa misi konservasi, pendidikan, dan pembangunan inklusif. Misalnya, wisata ke taman nasional harus disertai dengan informasi tentang ekosistem hutan dan satwa endemik, bukan sekadar objek foto.

1.2. Tiga Pilar Keberlanjutan: Ekonomi, Sosial, Ekologis

Ekowisata tidak bisa dilepaskan dari prinsip keberlanjutan, yang mengacu pada tiga pilar utama:

  • Pilar Ekonomi: Ekowisata harus menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat lokal, meningkatkan kualitas hidup tanpa bergantung pada aktivitas yang merusak alam, seperti penebangan liar atau perburuan. Pendapatan dari tiket, homestay, dan produk lokal menjadi penggerak ekonomi alternatif.
  • Pilar Sosial: Ekowisata harus memperkuat identitas budaya, mempromosikan kearifan lokal, dan memastikan bahwa masyarakat terlibat penuh dalam pengambilan keputusan. Hak masyarakat adat atas wilayahnya harus dihormati, dan nilai-nilai lokal menjadi bagian dari narasi wisata.
  • Pilar Ekologis: Kegiatan wisata harus menjaga kelestarian ekosistem, meminimalkan polusi, dan menghindari eksploitasi berlebih. Setiap pembangunan infrastruktur wisata harus memperhitungkan dampaknya terhadap air, tanah, flora, dan fauna.

Tiga pilar ini bersifat saling menguatkan. Gagal menyeimbangkan salah satu pilar dapat menyebabkan kegagalan keseluruhan program ekowisata, yang pada akhirnya menciptakan konflik sosial atau degradasi lingkungan.

1.3. Pedoman Global: IUCN, GSTC, dan UNWTO Standards

Dalam praktiknya, ekowisata merujuk pada pedoman global yang dirancang oleh lembaga internasional. Beberapa di antaranya:

  • IUCN (International Union for Conservation of Nature): Menyediakan panduan zonasi kawasan konservasi dan praktik konservasi berbasis masyarakat.
  • GSTC (Global Sustainable Tourism Council): Menetapkan kriteria keberlanjutan global, meliputi perencanaan, pengelolaan lingkungan, sosial-ekonomi, dan pengalaman pengunjung.
  • UNWTO (United Nations World Tourism Organization): Menyusun strategi pariwisata berkelanjutan yang mengintegrasikan ekowisata ke dalam agenda pembangunan global dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Pedoman ini penting sebagai kerangka kerja yang dapat disesuaikan secara lokal. Dengan merujuk pada standar internasional, destinasi ekowisata dapat meningkatkan kredibilitasnya, membuka peluang kerja sama global, dan mengikuti praktik terbaik dunia.

2. Identifikasi dan Perencanaan Destinasi Ekowisata

2.1. Kajian Potensi Alam dan Budaya: Inventarisasi Sumber Daya Hayati dan Warisan Lokal

Langkah awal membangun ekowisata adalah memahami potensi yang dimiliki suatu wilayah, baik dari sisi keanekaragaman hayati maupun kekayaan budaya. Inventarisasi mencakup:

  • Sumber daya hayati: Flora dan fauna endemik, kawasan konservasi, ekosistem unik seperti mangrove, karst, atau savana.
  • Sumber daya budaya: Tradisi lokal, seni pertunjukan, sistem pertanian tradisional, cerita rakyat, dan arsitektur vernakular.

Pendekatan partisipatif sangat penting dalam tahap ini, agar masyarakat lokal menjadi bagian dari proses identifikasi dan pengelolaan informasi. Kajian potensi yang matang menjadi fondasi untuk menentukan segmentasi pasar wisata dan diferensiasi destinasi dibandingkan tempat lain.

2.2. Analisis Daya Dukung Lingkungan: Batas Kapasitas Daya Tampung (Carrying Capacity)

Setiap destinasi memiliki batas ekologis yang tidak boleh dilampaui. Oleh karena itu, perencanaan ekowisata harus dilandasi analisis daya dukung lingkungan atau carrying capacity, yaitu jumlah maksimal wisatawan yang dapat diterima tanpa menyebabkan kerusakan ekosistem.

Analisis ini mencakup:

  • Kapasitas fisik: Luas area, jalur trekking, fasilitas sanitasi.
  • Kapasitas ekologis: Sensitivitas terhadap polusi, perubahan iklim, dan gangguan habitat satwa.
  • Kapasitas sosial: Kemampuan masyarakat untuk menerima kunjungan tanpa terganggu dalam kehidupan sehari-hari.

Pengabaian terhadap daya dukung dapat menyebabkan “overtourism”-ledakan wisatawan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, kemacetan, dan konflik sosial. Oleh karena itu, pengaturan jadwal kunjungan, sistem booking daring, dan pembatasan kuota harian menjadi instrumen manajemen penting.

2.3. Zonasi Kawasan: Inti, Buffer, dan Area Pendukung

Untuk mengatur aktivitas wisata secara bijak, kawasan ekowisata dibagi dalam zona:

  • Zona Inti (core zone): Kawasan konservasi tinggi, seperti habitat satwa langka atau ekosistem rentan. Akses terbatas hanya untuk penelitian atau kunjungan edukatif terbatas.
  • Zona Penyangga (buffer zone): Area yang memperbolehkan aktivitas terbatas seperti trekking ringan atau observasi alam.
  • Zona Pendukung: Wilayah luar yang menampung homestay, pusat informasi wisata, warung makanan lokal, dan transportasi.

Zonasi ini memberikan kerangka tata ruang yang menjaga keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan. Penetapannya harus berdasarkan kajian ekologis dan disepakati bersama masyarakat dan otoritas pengelola.

3. Pelibatan dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal

3.1. Model Partisipasi: Community-Based Tourism (CBT)

Community-Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis komunitas adalah pendekatan inti dalam ekowisata. Dalam model ini, masyarakat tidak sekadar menjadi penonton atau pekerja, tetapi aktor utama yang merancang, mengelola, dan mengambil manfaat dari kegiatan wisata.

CBT menciptakan struktur kepemilikan bersama, seperti koperasi desa wisata atau badan usaha milik desa (BUMDes) yang mengelola objek wisata, homestay, dan produk kerajinan. Dengan pendekatan ini, masyarakat memiliki rasa memiliki yang tinggi dan lebih termotivasi menjaga kelestarian alam dan budaya.

3.2. Pelatihan dan Kewirausahaan: Homestay, Pemandu Lokal, Kerajinan

Penguatan kapasitas masyarakat merupakan prasyarat keberhasilan ekowisata. Pelatihan harus dirancang sesuai potensi dan kebutuhan lokal, seperti:

  • Pelatihan pemandu wisata: Pengetahuan tentang flora-fauna, sejarah lokal, kemampuan komunikasi.
  • Pengelolaan homestay: Manajemen tamu, kebersihan, penyajian makanan lokal.
  • Kerajinan dan produk lokal: Anyaman, batik, produk herbal, dan makanan khas.

Kegiatan ini mendorong lahirnya wirausaha lokal yang memperkaya pengalaman wisata. Kegiatan pelatihan bisa diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata, LSM lingkungan, atau universitas, serta bisa didukung melalui program dana desa atau CSR perusahaan.

3.3. Pembagian Manfaat dan Skema Benefit Sharing

Aspek keadilan sangat penting dalam ekowisata. Oleh karena itu, perlu dirancang skema pembagian manfaat (benefit sharing) yang transparan dan adil. Misalnya:

  • Pembagian pendapatan antara komunitas dan pengelola teknis.
  • Dana konservasi yang dialokasikan dari setiap tiket masuk.
  • Insentif bagi warga yang mengonservasi hutan atau menjalankan praktik pertanian ramah lingkungan.

Model benefit sharing ini memperkuat kohesi sosial dan mencegah kecemburuan antarwarga. Transparansi pembukuan dan laporan kegiatan menjadi penjamin keberlanjutan jangka panjang.

4. Pengelolaan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati

Perubahan iklim membawa dampak besar terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, strategi adaptasi dan mitigasi juga harus menyasar pada perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam memastikan kelangsungan spesies dan habitat melalui program konservasi yang sistematis dan kolaboratif.

4.1. Strategi Proteksi Spesies dan Habitat: Patroli, Rintisan Konservasi

Upaya proteksi dilakukan melalui kegiatan patroli rutin di kawasan konservasi untuk mencegah perburuan liar, penebangan ilegal, dan aktivitas lain yang merusak ekosistem. Patroli ini dapat dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau melalui kemitraan dengan masyarakat sekitar hutan. Rintisan konservasi berbasis komunitas juga penting, seperti inisiatif “desa konservasi” yang menggabungkan kearifan lokal dengan prinsip perlindungan lingkungan. Pemerintah daerah perlu mendukung inisiatif ini dengan insentif finansial, pelatihan, dan infrastruktur dasar.

4.2. Restorasi Ekosistem: Rehabilitasi Hutan, Penghijauan Pesisir

Rehabilitasi kawasan hutan kritis dilakukan melalui penanaman kembali dengan spesies endemik dan adaptif terhadap perubahan iklim. Di wilayah pesisir, restorasi mangrove menjadi langkah penting untuk melindungi garis pantai dari abrasi dan menyediakan habitat bagi berbagai biota laut. Program penghijauan perlu dirancang secara partisipatif, dengan melibatkan sekolah, komunitas petani, dan kelompok perempuan. Selain menambah tutupan lahan, kegiatan ini juga mendidik masyarakat tentang pentingnya ekosistem yang sehat.

4.3. Kemitraan dengan LSM dan Akademisi

Pemerintah daerah dapat membangun kolaborasi erat dengan LSM lingkungan dan perguruan tinggi untuk memperkuat basis ilmiah program konservasi. LSM dapat berperan dalam mobilisasi komunitas dan advokasi, sedangkan akademisi menyediakan kajian ilmiah, pemetaan risiko ekologi, serta metode konservasi terbaru. Kemitraan ini juga memungkinkan pertukaran data, peningkatan kapasitas teknis, dan penciptaan pusat konservasi berbasis riset di daerah.

5. Infrastruktur dan Fasilitas Ramah Lingkungan

Pembangunan infrastruktur untuk mendukung ekowisata dan pengelolaan iklim harus mengutamakan prinsip keberlanjutan. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa seluruh pembangunan memperhatikan efisiensi energi, konservasi air, dan minimisasi limbah.

5.1. Desain Arsitektur Hijau: Bahan Lokal, Ventilasi Alami

Bangunan yang dibangun di kawasan ekowisata harus mengadopsi desain arsitektur hijau yang selaras dengan lanskap alam. Penggunaan bahan bangunan lokal, seperti bambu, kayu legal, dan batu alam, tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga mencerminkan identitas budaya lokal. Ventilasi alami dan pencahayaan yang optimal mengurangi ketergantungan pada energi listrik. Bangunan juga dapat dirancang dengan atap hijau (green roof) dan dinding tanaman (vertical garden) untuk meningkatkan efisiensi termal dan estetika.

5.2. Energi Terbarukan dan Pengelolaan Air: PLTS Atap, Sanitasi Ramah Lingkungan

Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di fasilitas umum dan kantor pemerintahan daerah akan mengurangi jejak karbon dan biaya energi jangka panjang. Sementara itu, sistem pengelolaan air berbasis teknologi rendah, seperti biofilter dan toilet kompos, mengurangi limbah dan menjaga kualitas air tanah. Daerah yang memiliki mata air atau sungai kecil juga dapat memanfaatkan mikro-hidro sebagai energi alternatif untuk desa-desa terpencil.

5.3. Transportasi Berkelanjutan: Jalur Trekking, Sepeda, Kendaraan Listrik

Pengembangan jalur trekking dan jalur sepeda di kawasan wisata harus dirancang dengan tetap memperhatikan kontur alam dan ekosistem sekitar. Selain ramah lingkungan, jalur ini memberi pengalaman wisata yang lebih menyatu dengan alam. Pemerintah daerah juga dapat merintis penggunaan kendaraan listrik sebagai moda transportasi umum di kawasan konservasi atau taman kota, disertai dengan stasiun pengisian daya berbasis energi terbarukan.

6. Produk dan Aktivitas Ekowisata yang Edukatif

Aktivitas wisata yang edukatif memberikan nilai tambah pada pengalaman pengunjung sekaligus meningkatkan kesadaran lingkungan. Pemerintah daerah dapat mendorong pengembangan program-program yang memperkenalkan pengunjung pada nilai-nilai konservasi dan budaya lokal.

6.1. Tur Burung dan Satwa Liar: Panduan Ilmiah dan Etika Observasi

Kegiatan pengamatan burung (birdwatching) dan satwa liar harus dipandu oleh tenaga terlatih yang memahami perilaku satwa, jalur migrasi, dan ekologi habitat. Setiap aktivitas harus disertai dengan etika observasi, seperti menjaga jarak, tidak memberi makan, dan tidak membuat suara keras yang mengganggu. Pengunjung juga perlu diberi informasi ilmiah melalui brosur, papan edukasi, dan aplikasi digital. Kegiatan ini menjadi sarana pembelajaran tentang pentingnya melestarikan keanekaragaman hayati.

6.2. Workshop Konservasi: Budidaya Tanaman Endemik, Penangkaran Satwa

Pusat ekowisata dapat menyelenggarakan workshop atau pelatihan bagi wisatawan, pelajar, dan komunitas, seperti cara membudidayakan tanaman langka, membuat pupuk organik, atau memahami program penangkaran satwa langka secara etis. Workshop semacam ini menjadi ruang interaktif untuk menyampaikan pesan konservasi, dan secara tidak langsung memperpanjang dampak edukatif dari kegiatan wisata.

6.3. Kegiatan Budaya dan Adat: Upacara, Keterampilan Tradisional

Budaya lokal adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap ekologis. Pemerintah daerah perlu mendukung kegiatan budaya, seperti pertunjukan musik tradisional, ritual adat panen, atau kerajinan tangan seperti anyaman dan batik. Kegiatan ini tidak hanya menjadi atraksi, tetapi juga cara mempertahankan identitas masyarakat dan mengajarkan nilai-nilai kebersahajaan, kearifan lokal, dan keharmonisan dengan alam kepada generasi muda maupun pengunjung luar.

7. Pemasaran dan Pengelolaan Kunjungan Bertanggung Jawab

Agar ekowisata tidak hanya dikenal tetapi juga dipilih sebagai alternatif wisata utama, strategi pemasaran dan pengelolaan pengunjung yang bertanggung jawab perlu dirancang secara sistematis dan berorientasi pada keberlanjutan. Pendekatan ini tidak hanya menekankan kuantitas pengunjung, tetapi lebih pada kualitas pengalaman wisata serta dampaknya terhadap lingkungan dan sosial budaya.

7.1. Branding Keberlanjutan: Sertifikasi Ekowisata, Eco-label

Branding keberlanjutan menciptakan diferensiasi destinasi ekowisata dengan menonjolkan nilai-nilai konservasi dan tanggung jawab sosial. Sertifikasi seperti Green Destinations, EarthCheck, dan eco-label lokal menjadi alat validasi atas komitmen pengelolaan berkelanjutan. Dengan memiliki sertifikat ini, destinasi ekowisata memperoleh kepercayaan lebih tinggi dari wisatawan sadar lingkungan dan pasar global yang menuntut tanggung jawab ekologi.

7.2. Digital Marketing dan Storytelling: Media Sosial, TripAdvisor, Blog

Pemasaran digital menjadi saluran utama promosi ekowisata. Penggunaan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dapat menampilkan keindahan alam, kisah pelestarian, serta testimoni wisatawan. Storytelling yang kuat-yang menyoroti proses perubahan komunitas, perjuangan konservasi, atau peran budaya lokal-dapat menyentuh emosi calon wisatawan dan menciptakan loyalitas. Platform seperti TripAdvisor dan blog perjalanan juga efektif memperluas jangkauan dan membangun citra positif.

7.3. Manajemen Pengunjung: Reservasi Online, Kontrol Kuota, Edukasi Pra-Kunjungan

Untuk menghindari overtourism, diperlukan sistem manajemen pengunjung yang baik. Reservasi online dan kuota harian membantu menjaga daya dukung lingkungan dan kualitas pengalaman. Edukasi pra-kunjungan, melalui video briefing, leaflet digital, atau QR code di tiket masuk, memastikan wisatawan memahami nilai konservasi dan aturan kunjungan sebelum tiba di lokasi.

8. Pembiayaan dan Model Kemitraan

Pengembangan ekowisata membutuhkan pendanaan jangka panjang dan kolaborasi lintas sektor. Pendekatan finansial yang inovatif dan inklusif sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem sekaligus kesejahteraan masyarakat lokal.

8.1. Skema Pembiayaan: Dana CSR, Green Bonds, Hibah Internasional

Sumber pembiayaan untuk ekowisata bisa berasal dari dana CSR perusahaan, obligasi hijau (green bonds), hingga hibah internasional dari lembaga donor seperti GEF, UNDP, atau USAID. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi akses komunitas terhadap pendanaan ini melalui penyusunan proposal, kemitraan dengan NGO, dan pelatihan pengelolaan keuangan berbasis program.

8.2. Kemitraan Publik-Swasta-Masyarakat: PPP Model Ekowisata

Model Public-Private-People Partnership (PPPP) sangat efektif dalam membangun ekowisata. Pemerintah menyediakan legalitas dan infrastruktur dasar, swasta membawa investasi dan pemasaran, sementara masyarakat berperan dalam pengelolaan dan penyediaan layanan. Sinergi ini menciptakan keseimbangan antara profit, pelestarian, dan partisipasi.

8.3. Model Usaha Sosial: Investasi Berbasis Dampak (Impact Investing)

Usaha sosial berbasis ekowisata kini menjadi tren baru. Bentuk ini tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga dampak sosial dan lingkungan. Impact investor mencari tempat untuk mendanai kegiatan yang berkontribusi pada SDGs. Ekowisata yang dikelola secara profesional, transparan, dan berorientasi pada komunitas memiliki potensi besar untuk menarik jenis investasi ini.

9. Monitoring, Evaluasi, dan Adaptasi Manajemen

Keberhasilan ekowisata tidak hanya dilihat dari jumlah kunjungan, tetapi juga dari seberapa efektif dampak positifnya terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. Oleh karena itu, sistem monitoring dan evaluasi harus terstruktur, partisipatif, dan berbasis data.

9.1. Indikator Keberlanjutan: Ekonomi (Pendapatan Lokal), Sosial (Kepuasan Masyarakat), Ekologis (Kualitas Habitat)

Indikator keberlanjutan harus mencakup tiga dimensi: ekonomi-misalnya persentase pendapatan desa dari ekowisata; sosial-tingkat partisipasi masyarakat dan kepuasan pengunjung; serta ekologis-seperti jumlah satwa yang kembali ke habitat, atau kualitas air dan tanah. Indikator ini harus diukur secara berkala.

9.2. Sistem Pelaporan Terpadu: Dashboard Digital, Citizen Science

Pelaporan dapat didukung oleh dashboard digital yang mengintegrasikan data pengunjung, keuangan, dan indikator lingkungan. Citizen science-di mana wisatawan atau relawan membantu mengumpulkan data seperti pengamatan satwa atau kondisi sungai-menambah akurasi dan membangun keterlibatan publik.

9.3. Adaptive Management: Review Berkala, Umpan Balik, Revisi Kebijakan

Pengelolaan berbasis adaptasi (adaptive management) memastikan pengambil keputusan tidak bersikap kaku, tetapi merespons perubahan kondisi dan masukan lapangan. Review tahunan, forum evaluasi, serta mekanisme revisi rencana pengelolaan menjadi bagian penting untuk menjaga relevansi dan efektivitas strategi ekowisata.

10. Studi Kasus: Desa Alam Lestari sebagai Pionir Ekowisata Berkelanjutan

10.1. Latar Belakang dan Inisiasi Program

Desa Alam Lestari merupakan desa di kawasan perbukitan tropis yang dulunya bergantung pada pembalakan liar dan pertanian konvensional. Program ekowisata dimulai dari inisiatif tokoh lokal dan pemuda desa, yang melihat potensi hutan dan sungai sebagai aset wisata edukatif dan konservatif.

10.2. Proses Implementasi: Dari Zonasi hingga Pemasaran

Proses dimulai dengan pemetaan partisipatif zonasi: kawasan konservasi, jalur wisata, dan zona ekonomi. Dilanjutkan dengan pelatihan pemandu lokal, pembangunan homestay, dan pengembangan produk khas desa. Pemasaran dilakukan melalui media sosial, partisipasi dalam pameran wisata, dan kolaborasi dengan universitas.

10.3. Hasil dan Pelajaran: Peningkatan Ekonomi, Pelestarian, dan Replikasi

Ekowisata meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 40%, mengurangi tekanan pada hutan, dan membangkitkan kebanggaan akan kearifan lokal. Kini, Desa Alam Lestari menjadi model pembelajaran ekowisata nasional dan telah direplikasi di lima desa lain. Kunci keberhasilan mereka adalah sinergi antara komunitas, pemimpin visioner, dan dukungan multi-pihak yang konsisten.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Membangun ekowisata untuk keberlanjutan memerlukan pendekatan holistik-menggabungkan perencanaan berbasis sains, partisipasi masyarakat, pengelolaan konservasi, infrastruktur hijau, dan pemasaran bertanggung jawab. Dengan model kemitraan yang inklusif dan sistem monitoring yang adaptif, ekowisata dapat menjadi motor pembangunan lokal, pelestarian alam, dan pendidikan lingkungan. Studi kasus Desa Alam Lestari menunjukkan bahwa komitmen komunitas, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi terus-menerus adalah kunci keberhasilan. Ke depan, adopsi teknologi digital, diversifikasi produk, serta dukungan kebijakan dan pembiayaan hijau akan memperkuat peran ekowisata sebagai pilar keberlanjutan global.