Pendahuluan
Pariwisata sering dipandang sebagai salah satu mesin penggerak ekonomi daerah: membuka lapangan kerja, menarik investasi, sekaligus mempromosikan budaya dan lingkungan setempat. Karena itu banyak pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus untuk memajukan pariwisata-dari pembangunan infrastruktur seperti jalan dan rumah adat, hingga promosi festival, pemasaran digital, dan pelatihan pelaku usaha. Namun muncul pertanyaan mendasar: apakah setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar sampai pada tujuan yang diharapkan? Apakah belanja itu benar-benar meningkatkan kunjungan, menambah pendapatan masyarakat lokal, dan menjaga keberlanjutan lingkungan? Atau justru ada anggaran yang mubazir, proyek-proyek yang tidak diterima masyarakat, atau prioritas yang keliru?
Artikel ini mengajak pembaca menelaah belanja pemerintah untuk pariwisata daerah secara sederhana dan praktis. Kita akan membedah mengapa belanja itu penting, bagaimana biasanya alokasi dilakukan, indikator apa yang bisa dipakai untuk menilai apakah alokasi sudah tepat sasaran, pola masalah yang sering muncul di lapangan, serta langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, DPRD, pelaku pariwisata, dan masyarakat.
Penting diingat: penilaian bukan soal mencari kambing hitam, melainkan mengidentifikasi titik-titik lemah supaya sumber daya publik dipakai sebijak mungkin. Belanja pariwisata yang tepat sasaran tidak selalu berarti lebih besar jumlahnya; seringkali berarti lebih cermat dalam memilih program, melibatkan komunitas lokal, dan mengukur hasil nyata. Dengan rangka analisis yang runtut, artikel ini berusaha mengubah diskusi dari soal anggaran semata ke soal hasil yang dapat dinikmati masyarakat.
Mengapa belanja pariwisata penting?
Belanja publik untuk pariwisata punya beberapa tujuan praktis yang biasanya menjadi dasar alokasi anggaran. Pertama, memperbaiki infrastruktur dasar yang mendukung kunjungan wisata: akses jalan, sanitasi, jaringan listrik dan air bersih, serta fasilitas kebersihan. Infrastruktur semacam ini membuat lokasi lebih mudah dijangkau dan nyaman, sehingga wisatawan bersedia datang dan tinggal lebih lama. Kedua, mendorong ekonomi lokal: program pelatihan UMKM, dukungan pemasaran produk lokal, dan bantuan pengembangan homestay atau guide lokal bertujuan supaya masyarakat langsung menerima manfaat ekonomi.
Ketiga, promosi dan branding daerah: dana untuk pameran, kampanye digital, atau penyelenggaraan festival budaya dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran wisatawan terhadap destinasi. Keempat, pelestarian budaya dan lingkungan: sebagian belanja diarahkan untuk konservasi situs sejarah, rehabilitasi ekosistem, atau program pengelolaan sampah-peringatan bahwa pariwisata juga harus berkelanjutan. Kelima, peningkatan kapasitas sumber daya manusia: pelatihan frontliner, sertifikasi pemandu, dan kursus bahasa bagi pelaku wisata bertujuan meningkatkan kualitas layanan dan reputasi daerah.
Harapannya, serangkaian intervensi ini menimbulkan efek berantai: wisatawan datang → penghasilan lokal meningkat → usaha lokal berkembang → pajak dan retribusi naik → pemerintah punya ruang anggaran lebih besar untuk pemeliharaan fasilitas. Tetapi semua itu hanya akan terjadi bila belanja diarahkan pada masalah yang benar-benar menghambat kunjungan atau menurunkan manfaat ekonomi. Bila dana dipakai untuk proyek yang “cocok” sebagai program publik tapi tidak menjawab hambatan nyata (misalnya membangun monumen megah yang tak menarik wisatawan), maka efek ekonomi yang diharapkan sulit tercapai.
Mekanisme alokasi & rencana pengeluaran: bagaimana biasanya diputuskan
Di level daerah, alokasi belanja pariwisata biasanya melalui beberapa jalur: APBD (anggaran daerah) tahunan, dana alokasi khusus atau hibah dari provinsi/pusat, serta APBD perubahan bila ada kebutuhan mendesak. Proses dimulai dari perencanaan: dinas pariwisata bersama perangkat teknis lain menyusun rencana tahunan-yang memuat program pembangunan, promosi, dan pembinaan. Dokumen ini kemudian diajukan ke DPRD sebagai bagian dari anggaran daerah. Di sinilah peran politis muncul: pimpinan daerah dan wakil rakyat seringkali punya prioritas berbeda, dan usulan program bisa mendapat tambahan atau dipangkas sesuai negosiasi politik.
Selain itu ada mekanisme proyek berbasis usulan komunitas atau dana desa untuk program pariwisata lokal (mis. perbaikan akses ke desa wisata). Pemerintah daerah juga bisa menggunakan skema kerja sama dengan swasta (public-private partnership) untuk infrastruktur berskala besar, atau hibah kepada komunitas budaya untuk program pelestarian. Tahap penganggaran biasanya didasarkan pada target kunjungan, pendapatan yang diharapkan, dan kapasitas fiskal daerah. Namun perencanaan ini sering menghadapi limitasi: data kunjungan yang tidak lengkap, asumsi pasar yang terlalu optimis, atau tekanan untuk menampilkan proyek yang spektakuler demi popularitas politik.
Dalam praktik, beberapa masalah tata kelola muncul: program yang dibuat ad-hoc untuk memenuhi kegiatan seremonial, proyek infrastruktur tanpa rencana pemeliharaan jangka panjang, atau promosi yang tidak dikoordinasikan dengan kesiapan fasilitas di lapangan. Karena itu memahami mekanisme alokasi penting: bukan hanya melihat nilai anggaran, tetapi menelusuri alasan program, sumber dana, mekanisme pengadaan, dan rencana pengukuran hasil. Di banyak daerah yang berhasil, proses perencanaan melibatkan studi kebutuhan, kajian pasar sederhana, dan konsultasi dengan komunitas lokal-langkah-langkah ini membuat alokasi lebih realistis dan relevan.
Indikator sasaran: bagaimana kita tahu belanja sudah tepat?
Menilai apakah belanja pariwisata tepat sasaran membutuhkan indikator yang jelas. Indikator itu harus mengukur hasil nyata-bukan hanya keluaran administratif seperti jumlah event yang dilaksanakan. Berikut beberapa indikator praktis yang berguna dan mudah dimengerti:
- Kenaikan jumlah pengunjung (domestik dan/atau mancanegara) ke destinasi yang mendapat intervensi. Ini ukuran awal efektivitas promosi dan akses.
- Pendapatan pariwisata lokal-misalnya total pengeluaran wisatawan di daerah, atau peningkatan pendapatan pelaku usaha (homestay, warung, guide). Angka ini menunjukkan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
- Ketersediaan dan kualitas fasilitas: misalnya persentase jalan akses yang teraspal, jumlah homestay terdaftar yang layak, atau indeks kebersihan.
- Tingkat tenaga kerja yang terserap dalam sektor pariwisata-berapa banyak pekerjaan baru yang tercipta.
- Tingkat kepuasan wisatawan-melalui survei singkat atau review platform online.
- Keberlanjutan lingkungan: indikator sederhana seperti volume sampah yang dikelola, kondisi ekosistem, atau jumlah kegiatan konservasi yang berjalan.
- Partisipasi masyarakat lokal: seberapa besar peran masyarakat dalam kepemilikan dan pengelolaan usaha wisata.
Indikator-indikator ini sebaiknya diukur sebelum dan sesudah program (baseline dan follow-up) sehingga dampak dapat dibaca. Contoh sederhana: bila pemerintah menggelontorkan dana untuk mempromosikan festival budaya, indikator keberhasilan bukan hanya terselenggaranya festival, tetapi kenaikan kunjungan selama dan setelah festival, serta berapa persen pengunjung berbelanja produk lokal. Tanpa indikator semacam ini, mudah bagai program terlihat sukses administrasi tapi gagal memberikan manfaat riil.
Penting juga menilai efisiensi biaya: berapa biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan satu wisatawan tambahan? Ini membantu membandingkan apakah promosi di satu kanal lebih efektif dibanding kanal lain. Misalnya kampanye digital yang murah tapi menarget audiens salah mungkin kurang efektif dibandingkan dukungan infrastruktur kecil yang mempermudah akses.
Kondisi di lapangan: kasus dan pola masalah yang sering muncul
Di banyak daerah, sejumlah pola masalah berulang muncul saat meninjau belanja pariwisata. Pertama, proyek fisik tanpa perencanaan pemeliharaan: pembangunan gazebo, gapura, atau patung sering dikerjakan karena tampak spektakuler, tetapi pengelolaan pasca-pembangunan tidak jelas-tidak ada dana operasional atau pengelola yang terlatih. Hasilnya fasilitas cepat rusak dan biaya tambahan muncul untuk perbaikan.
Kedua, promosi yang tidak sinkron dengan kesiapan layanan: destinasi dipromosikan besar-besaran sebelum akses jalan atau sanitasi memadai. Wisatawan datang, kecewa dengan layanan, lalu menyebarkan ulasan buruk di media sosial-dampak jangka panjang yang merusak citra. Ketiga, program yang terfokus pada event satu kali tanpa rencana kesinambungan: festival diselenggarakan sekali untuk memuaskan agenda politik, tetapi tidak diikuti program pemasaran berkelanjutan atau pelatihan pelaku usaha untuk menangkap peluang ekonomi.
Keempat, dominasi usaha luar: sering terjadi modal besar dari luar daerah mengambil alih peluang pengembangan pariwisata-hotel besar, restoran franchice-sementara usaha lokal kurang diberdayakan. Ini mengurangi multiplier effect bagi masyarakat setempat. Kelima, pagu anggaran yang terfragmentasi: dana untuk promosi, infrastruktur, dan pembinaan sering tersebar di banyak unit sehingga tidak ada koordinasi terpadu. Akibatnya dana kecil-kecil digunakan di banyak tempat tanpa dampak agregat yang jelas.
Keenam, kurangnya data: banyak pemda tidak memiliki basis data kunjungan yang andal, sehingga perencanaan didasarkan pada perkiraan atau data gap. Tanpa data yang baik, sulit menentukan prioritas intervensi. Pola-pola ini menuntut perbaikan tata kelola: sinkronisasi rencana, alokasi untuk pemeliharaan, pemberdayaan pelaku lokal, dan pembentukan indikator hasil yang jelas.
Dampak ekonomi dan sosial ketika sasaran meleset
Saat belanja tidak tepat sasaran, dampaknya terasa di banyak lapisan. Secara ekonomi, dana publik yang dihabiskan untuk proyek tidak efektif mengurangi ruang fiskal untuk program yang benar-benar produktif, seperti perbaikan jalan akses industri atau penguatan layanan kesehatan yang juga akan mendukung pariwisata jangka panjang. Uang publik yang mubazir juga mengurangi kemampuan pemerintah menahan guncangan ekonomi.
Dari sisi sosial, kegagalan program wisata dapat memunculkan kekecewaan masyarakat: janji lapangan kerja tidak terwujud, fasilitas yang dibangun tidak terawat, dan akses usaha lokal tidak diperbaiki. Ini dapat menimbulkan resistensi terhadap proyek berikutnya-komunitas menjadi tidak kooperatif, yang pada gilirannya menghambat potensi pembangunan pariwisata yang inklusif. Di sisi lain, proyek yang buruk juga bisa merusak lingkungan-pembangunan yang tidak mempertimbangkan kapasitas daya dukung alam dapat memicu erosi, kerusakan karst, atau limbah yang menumpuk.
Reputasi daerah juga penting: wisatawan yang pernah kecewa sering membagikan pengalaman negatif, yang mempengaruhi keputusan calon wisatawan lainnya. Reputasi yang rusak sulit diperbaiki dan memerlukan biaya besar untuk perubahan citra. Oleh karena itu, dampak salah sasaran bukan hanya sekilas anggaran, melainkan berujung pada hilangnya peluang ekonomi jangka panjang, ketegangan sosial, dan degradasi lingkungan.
Tantangan tata kelola & kapasitas yang menghambat efektivitas belanja
Ada beberapa tantangan tata kelola yang sering menghambat efektivitas belanja pariwisata. Pertama, fragmentasi kewenangan: pengembangan pariwisata melibatkan banyak dinas-pariwisata, dinas pekerjaan umum, dinas perhubungan, dinas lingkungan hidup-tanpa mekanisme koordinasi yang kuat. Akibatnya proyek infrastruktur dan promosi berjalan tidak sinkron. Kedua, kapasitas teknis yang terbatas: staf dinas pariwisata di banyak daerah memiliki beban tugas luas, sementara keahlian dalam pemasaran digital, pengembangan produk wisata, atau pengelolaan destinasi relatif terbatas.
Ketiga, pendanaan jangka pendek: alokasi tahunan yang bergantung pada politik seringkali membuat perencanaan jangka menengah sukar. Program pengembangan destinasi butuh kontinuitas beberapa tahun untuk membuahkan hasil. Keempat, lemahnya partisipasi masyarakat: bila komunitas lokal tidak dilibatkan sejak awal, proyek akan sulit mendapatkan dukungan operasional. Kelima, keterbatasan data dan sistem informasi: pengambilan keputusan tanpa data kunjungan, preferensi wisatawan, atau kapasitas layanan membuat prioritas salah sasaran.
Selain itu, risiko politisasi program-di mana proyek dipilih karena kepentingan politik semata-mengurangi rasionalitas perencanaan. Tantangan-tantangan ini menuntut reformasi kelembagaan: pembentukan unit pengelola destinasi terpadu, penguatan kapasitas SDM, perencanaan multi-tahun, dan sistem informasi pariwisata yang jelas.
Praktik baik: contoh langkah yang berhasil di beberapa daerah
Meskipun banyak tantangan, ada contoh praktis yang bisa ditiru. Beberapa daerah memulai dengan pilot project kecil: memperbaiki satu akses jalan desa wisata, melatih 20 homestay, dan menjalankan promosi digital terukur. Evaluasi pasca-pilot menunjukkan kenaikan kunjungan dan penghasilan rumah tangga; dari sana program diskalakan. Strategi lain adalah pendekatan berbasis komunitas: program yang memberi hibah kecil untuk pelaku usaha lokal dengan syarat rancangan usaha dan pelatihan. Ini mendorong ownership masyarakat sehingga fasilitas terjaga.
Ada juga contoh daerah yang mengintegrasikan promosi dengan musim lokal-misalnya memadukan festival panen dengan paket wisata edukasi pertanian-yang menciptakan pengalaman unik dan memperpanjang lama tinggal wisatawan. Di level tata kelola, beberapa pemda membentuk unit pengelolaan destinasi terpadu yang mengumpulkan perencanaan, promosi, dan pengelolaan lapangan dalam satu tim lintas dinas-hasilnya koordinasi meningkat dan sumber daya dipakai lebih efektif.
Contoh lain: penggunaan data sederhana-seperti survei kepuasan pengunjung di pintu masuk atau monitoring review online-untuk memperbaiki layanan cepat. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa tidak selalu butuh anggaran besar; kebijakan cermat dan partisipasi lokal sering lebih efektif.
Rekomendasi praktis untuk 1-3 bulan dan 1-3 tahun ke depan
Untuk tindakan segera (1-3 bulan):
- Inventarisasi program: buat daftar semua program pariwisata berjalan dan sumber anggarannya; identifikasi program yang tidak selaras dengan prioritas.
- Terapkan checklist kelayakan sebelum mengeluarkan dana baru: apakah ada rencana pemeliharaan, siapa penerima manfaat langsung, dan indikator hasil sederhana?
- Mulai pilot terukur: alokasikan sebagian kecil anggaran untuk pilot berbasis komunitas dengan indikator pengunjung dan pendapatan.
- Konsolidasi promosi: satu kanal promosi terkoordinasi agar anggaran tidak terpecah.
- Kumpulkan data dasar: lakukan survei kunjungan sederhana dan monitoring review online selama event besar.
Untuk strategi menengah (1-3 tahun):
- Bangun unit pengelolaan destinasi terpadu di pemda dengan kapasitas perencanaan dan pemasaran.
- Kembangkan sistem informasi pariwisata sederhana untuk data kunjungan, kapasitas akomodasi, dan indikator keberlanjutan.
- Susun rencana pembinaan UMKM jangka panjang: pelatihan, akses pasar, dan integrasi produk lokal dalam paket wisata.
- Rancang model pembiayaan berkelanjutan: kombinasi APBD, retribusi, dan kemitraan swasta untuk pemeliharaan fasilitas.
- Masukkan indikator hasil dalam evaluasi anggaran: DPRD harus meminta laporan berbasis hasil, bukan hanya laporan kegiatan.
Langkah-langkah ini harus dibarengi komitmen politik: alokasi berkelanjutan, penghargaan pada program yang terbukti efektif, dan keterlibatan masyarakat dalam evaluasi.
Kesimpulan
Belanja pemerintah untuk pariwisata daerah bisa menjadi alat ampuh untuk menciptakan keuntungan ekonomi yang inklusif dan menjaga kekayaan budaya serta alam. Namun efektivitasnya bergantung pada apakah belanja tersebut disusun berdasarkan masalah nyata, dilaksanakan dengan perencanaan pemeliharaan, melibatkan masyarakat, dan diukur dengan indikator hasil yang jelas. Tanpa itu, anggaran besar sekalipun berisiko jadi tontonan proyek tanpa manfaat riil.
Perbaikan praktis tidak selalu mahal: konsolidasi promosi, pilot kecil terukur, checklist kelayakan, dan pemberdayaan UMKM dapat meningkatkan output secara cepat. Jangka menengah menuntut pembenahan kelembagaan, data, dan kebijakan pendanaan agar pariwisata berkembang berkelanjutan. Bagi DPRD, peran pengawasan berbasis hasil sangat krusial-memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan membawa manfaat yang nyata bagi masyarakat.